Lihat ke Halaman Asli

Belajar Percaya pada Pep Guardiola dan Istri Saya

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1399112599162128306

[caption id="attachment_305879" align="aligncenter" width="238" caption="Jangan mudah menyerah"][/caption]

Percaya itu sungguh perkara yang musykil. Apalagi jika kita peragu. Ada banyak alasan untuk goyah dan berbalik arah jika menemui kerikil tajam, jalan terjal mendaki, buntu. Sialnya, tidak ada jaminan rasa itu berujung pada kebenaran seperti apa yang kita percayai bakal benar-benar terjadi. Bisa salah.

Masihkah kita berani untuk percaya?

Saat realita memberi kita sejuta alasan untuk mengubah pilihan haluan?

Ketika istri saya menerima pinangan bersedia melayarkan biduk rumah tangga bersama-sama, tentu ada banyak sekali mimpi indah yang terbayang di benak. Sengaja, atau yang bermain-main di alam bawah sadarnya. Dia percaya inilah laki-laki yang akan membahagiakannya sesisa umurnya: saya!

Benarkah seperti itu?

Saya bisa pastikan jawabannya adalah tidak benar! Layaknya petuah-petuah bijak yang membanjiri telinga dan hati kami menjelang hari pernikahan, kehidupan rumah tangga tak seindah yang dibayangkan semasa pacaran. Akan ada banyak hal dan peristiwa yang menguji kesetiaan masing-masing pada janji yang diucapkan di depan altar suci.

Dan… memang demikianlah adanya. Satu per satu masalah muncul ke permukaan. Mulai dari kebiasaan jelek tidak suka dengan kebersihan dan kerapihan sampai hal prinsip seperti menjalani kehidupan pernikahan itu sendiri. Ada banyak sekali perbedaan, ketidaksepahaman sampai kekecewaan. Hari demi hari diisi dengan bertambahnya alasan untuk menguatkan premis “tidak layak” sebagai suami impian.

Masihkah dia mempercayai saya bisa menjadi suami terbaik baginya?

Kita memang mudah sekali kehilangan kepercayaan pada sesuatu jika ada tanda-tanda salah, gagal atau tidak sesuai harapan. Pilihannya hanya dua: tetap percaya dengan risiko akan kembali tersakiti dalam proses mencapainya, atau meralat kepercayaan itu dengan konsekuensi mengakui apa yang pernah kita percaya itu – dan tentu saja biasanya amat penting bagi kita – salah sehingga harus diubah.

Kekalahan Bayern Muenchen dari Real Madrid di semifinal Liga Champions 2014 beberapa hari lalu – yang disebut beberapa media sangat memalukan – tiba-tiba menempatkan Joseph Guardiola sebagai pesakitan. Khususnya obesesinya pada permainan ball possession dari kaki ke kaki yang dikenal dengan Tiki Taka saat membawa Barcelona meraih 14 piala dalam kurun waktu 5 musim.

Para petinggi FC Hollywood, sebutan Bayern, ramai-ramai beropini miring. Franz Beckenbauer menyebut ini bukan Bayern, Karl-Heinz Rummenige mengatakan ini tamparan yang menyakitkan, Matthias Sammer menyindir buat apa banyak menguasai bola jika gagal mencetak gol dan menang.

Memang belum sampai pada isu hengkangnya Pep yang baru semusim melatih The Bavarian, tapi sudah cukup untuk merebakkan spekulasi penundaan pendekatan Manchester United kepada Louis van Gaal untuk menggantikan David Moyes dan Ryan Giggs sebagai manajer mereka musim depan karena ada peluang mendaratkan Pep dari Allianz Arena ke Old Trafford melihat situasi panas yang berkembang.

Di luar dugaan, Pep pun mereaksi dengan lugas, “Dukung saya atau pecat saya!” tegasnya dalam konferensi pers menjelang laga melawan Hamburg di Bundesliga yang dikutip banyak media. “Klub harus memutuskan apakah saya pelatih yang tepat untuk mereka atau bukan. Saya tidak bisa melatih dengan ide orang lain. Bahkan setelah kalah dari Real Madrid pun saya semakin yakin dengan filosofi bermain yang saya terapkan. Saya tidak akan mengubah apapun karena saya percaya sistem inilah yang terbaik.”

Jawaban tegas dari manajer berumur 43 tahun itu. Manajer dengan latar belakang istimewa yang datang sebagai juru selamat yang diyakini bakal memberi banyak piala bagi klub barunya. Tapi, meski sudah memenangi Piala Dunia Antarklub dan Piala Super Eropa serta Liga Jerman saat pertandingan masih tersisa 7 partai dianggap tidak sebanding dengan kekalahan memalukan dari Real Madrid.

Pep bergeming.

Baginya, kekalahan sememalukan apapun bukan alasan untuk mengubah prinsipnya. Dia tetap percaya bahwa Tiki Taka adalah pilihan terbaik meski banyak pengamat melihat jelas keberingasan dan kecepatan Bayern berkurang drastis dibandingkan musim lalu saat masih dibesut oleh Jupp Heynckess. Dan, memang, produktivitas Bayern juga menurun jauh dibandingkan musim lalu. Tanda-tanda yang sangat valid untuk mereka yang percaya bahwa Pep adalah pilihan yang salah.

Pep sudah memilih untuk tetap percaya pada pilihannya dan menolak mengubahnya. Dia merasa justru inilah waktu yang tepat untuk semakin percaya dan memperbaiki pendekatannya untuk menyempurnakan pilihan terbaiknya pada sebuah sistem permainan.

Kini giliran manajemen Bayern – yang baru saja mengangkat Karl Hopfner sebagai presiden baru menggantikan Uli Houness yang terpaksa lengser akibat tersangkut kasus pajak dan harus masuk bui – merespon. Memilih pendekatan pragmatis seperti MU yang akhirnya menyerah dan memecat David Moyes atau tetap mempercayai Pep.

Istri saya memilih untuk percaya bahwa saya mau memperbaiki diri dan (kelak) menjadi suami impiannya. Dia menolak menyerah meski sehari-hari saya ada saja memberikan begitu banyak alasan dan fakta yang memberinya pilihan untuk melepas ras percayanya. Dia memilih berkawan dengan rasa sebal, kecewa, marah mungkin juga frustrasi atas kelakuan saya untuk teguh bertahan pada keyakinannya yang tidak ada jaminan akan terwujud persis seperti keinginannya.

“Saya percaya kamu adalah anugerah Tuhan untukku. Saya percaya dengan janji yang saya ucapkan di Gereja. Saya percaya seberat apapun masalahnya kita akan bisa mengatasi semua ini sama-sama,” ujarnya lirih yang selalu membuat saya tersadarkan untuk tak lagi menyia-nyiakan kepercayaannya.

Masalah seberat apapun bukan alasan untuk menyerah… Persis seperti sepenggal puisi yang sengaja kami tuliskan dalam undangan pernikahan kami…

When things go wrong, as they sometimes will

When the road you’re trudging seems all uphill

When the funds are low are the debts are high

And you want to smile, but you have to sigh,

When care is pressing you down a bit,

Rest, if you must, but don’t you quit

(pos pengumben, di ujung senja awal Mei, terima kasih Aloysia Galuh Harumnindyarti atas sebongkah cinta yang luar biasa istimewa dan keras kepala)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline