Lihat ke Halaman Asli

Wajah Baru Kediktatoran Belanda

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://static.guim.co.uk/sys-images/Football/Clubs/Club_Home/2014/6/26/1403772563755/Louis-van-Gaal-right-and--009.jpg

Tembok kokoh dibangun dari sekian banyak bata kecil yang sepintas terlihat ringkih – bahkan kadang dalam bentuk puing – yang disatukan oleh lapisan semen. Lebih kuat daripada menumpuk beberapa bongkah batu besar yang tak direkat oleh apapun.

static.guim.co.uk

Salah satu kritik yang sering sekali dialamatkan ke arah saya adalah sikap keras kepala yang praktis tanpa kompromi. Kalau A ya A, kalau B ya jangan dibilang A. Nyaris tanpa ruang diskusi, apalagi menepi, jika sudah menyangkut masalah yang saya anggap prinsip.

“Tidak ada yang salah dengan prinsipmu,” kata seorang sahabat suatu kali. “Tapi mungkin caramu yang terlalu kaku sehingga banyak orang tersinggung. Semulia apapun prinsip itu, tapi kalau tidak bisa diterapkan karena orang lain tidak bisa menerima caramu ya akan sia-sia to?”

Mungkin saya harus banyak belajar dari Louis van Gaal, arsitek di belakang kebangkitan Oranje yang tengah menjadi buah bibir. Bukan hanya mengubah total wajah tim asuhannya, tetapi juga bahkan berkompromi dengan karakternya demi mencapai tujuan yang lebih besar: menang dan juara.

Pelatih yang mengantongi 7 gelar liga di 3 negara plus juara Liga Champions ini dikenal sebagai pelatih yang arogan, sombong, keras kepala dan tidak mau mendengar kritik. Berkali-kali membuka konflik dengan pemain, sesama pelatih maupun pejabat klub – mulai dari Zlatan Ibrahimovic sampai Rivaldo, Johan Cruyff sampai Ronald Koeman, Karl Heinz Rummenige sampai Franz Beckenbauer.

Perubahan mulai dilakukan sejak hari pertama ditunjuk melatih Belanda untuk kali kedua – yang pertama gagal lolos Piala Dunia 2002. Dia mengumpulkan pemain senior dan membebaskan mereka bicara apa saja. Semua bicara lantang, kecuali striker terbaik mereka Robin van Persie.

Bukannya marah, Van Gaal justru memanggilnya bicara 4 mata. Van Persie diyakinkan masuk dalam rencana jangka panjang, tapi akan diistirahatkan sementara waktu untuk menyelesaikan kepindahan dari Arsenal ke MU. Van Gaal juga membuka rencananya mencopot ban kapten Sneijder untuk diserahkan kepada Van Persie dengan dukungan Robben sebagai kapten kedua.

Hubungan mereka berlanjut. Saat Van Persie cedera dan pulang ke Belanda untuk recovery, Van Gaal mengajaknya menonton dua laga Eredivisie sembari membahas taktik baru 5-3-2 yang akan diterapkannya setelah Kevin Strootman dipastikan absen merumput di Brazil akibat cedera.

“Saya tetap memegang kontrol penuh atas apa yang akan saya putuskan. Tetapi, rasanya jauh lebih baik jika kapten tim tahu persis apa yang akan saya lakukan dan antusias dengan rencana yang akan kami jalankan bersama,” jelas Van Gaal tentang perilakunya yang tidak biasa itu.

Hasilnya, Van Persie tidak marah saat ditarik keluar – digantikan oleh Jan Huntelaar – di 15 menit terakhir saat timnya tertinggal 0-1 dari Meksiko. “Pelatih kami menginginkan kemenangan, jadi dia melakukan pergantian. Persoalannya sesederhana itu,” kata sang striker yang memerlukan lari ke pinggir lapangan melakukan selebrasi dengan sang pelatih saat menang besar 5-1 atas Spanyol.

Tapi, bukan berarti Van Gaal kehilangan otoritas. Dialah yang memutuskan kapan tim memainkan 5-3-2, 4-3-3, 4-4-2 seperti yang dilakukan saat mengejar ketinggalan dari Meksiko. Atau menempatkan Dirk Kyut yang biasa berperan sebagai striker menjadi left wing back. Juga secara brilian memasukkan kiper ketiga Tim Krul untuk menyingkirkan Kosta Rika di babak adu penalti.

Ternyata hal itu sudah disiapkan jauh-jauh hari. Tim Krul dilatih khusus untuk diturunkan saat adu penalti. Kiper utama Jasper Cillessen yang awalnya sempat shock akhirnya secara terbuka meminta maaf atas reaksinya yang tidak bersahabat waktu diganti. Kuyt juga mengaku sudah diminta bersiap untuk main di posisi baru sekaligus melatih tandem dengan Huntelaar.

Kekeras-kepalaan Van Gaal mengorbitkan pemain-pemain muda semakin menonjol. Barisan pertahanan Belanda diisi kiper Jasper Cillessen yang baru 25 tahun plus bek-bek muda minim pengalaman: Stefan de Vrij (22), Bruno Martins Indi (22), Daryl Janmaat (24), dan Daley Blind (24). Memphis Depay menyumbang dua gol di Piala Dunia pertamanya dalam usia 20 tahun.

Di luar lapangan, sikap Van Gaal terlihat sangat lunak. Jika dia melarang keluarga pemain mendekati para pemain saat memimpin Belanda untuk pertama kali, dia kini justru mengundang mereka ke hotel tim. Empat jam sebelum laga, Van Persie masih bisa bermain dengan anaknya, sementara pemain lain terlihat santai berendam, berenang atau sekadar memainkan gadget-nya.

Sesi latihan tidak lagi tertutup. Pemain bebas dilihat oleh wartawan dan melayani permintaan berfoto dan tanda tangan dari fans yang mendatangi markas tim. Situasi santai, riang dan tanpa beban tampak jelas mewarnai semua sesi tim nasional.

Semua itu ternyata mengubah total wajah timnas Belanda. Berangkat dengan status underdog sebagai tim terburuk dalam sejarah sepakbola Negeri Tulip itu – bahkan diramal bakal kesulitan lolos dari Grup B dan hanya 5 persen penduduk Belanda yang yakin mereka bisa bicara banyak di Brazil, tiba-tiba Belanda sudah sampai semifinal dan tinggal selangkah lagi bertarung di laga penutup.

Ancaman utama bagi Argentina pertama-tama bukan kemampuan teknis Belanda – yang sejatinya sudah bisa dinetralisir oleh Cile, Australia, Kolombia dan Kosta Rika. Namun, kediktatoran Van Gaal mengarahkan tim dengan kepatuhan total para pemain yang suka rela melakukan apa saja perintang sang komandan. Tak ada sanggahan, perlawanan apalagi penolakan.

Bayangkan jika loyalitas buta itu diperagakan oleh 11 pemain yang semuanya merasa berhutang buda pada sang komandan yang dianggap telah memberi nafas baru dalam karir mereka. Lawan sekuat apapun bakal dihadapi dengan nyali setebal tembok.

Belanda bukannya tidak terkalahkan, tetapi jelaslah sangat sulit untuk dipandang sebelah mata...

Sesulit saya mengikuti jejak Van Gaal mentransformasi diri dalam usia setua itu – yang oleh sebagian orang sudah terlambat untuk dilakukan... Meski, lagi-lagi kata sahabat saya, tak ada kata terlambat untuk berubah...

Entahlah...

[Dini Hari, 10/07/14, sungguhkah kita perlu berubah?]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline