Lihat ke Halaman Asli

Kegagalan Argentina Menghukum Bakat Messi

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://4.bp.blogspot.com/_wh8W04dGH_8/TBGxqg0a6WI/AAAAAAAACNE/NxD5oblzJ1I/s1600/110610.jpg

"Kelebihan, keunikan, keistimewaan kadang menjadi topeng abadi yang harus kita kenakan sepanjang masa. Tak ada ruang untuk menjadi biasa, normal, apa adanya. Abadi."

oleh: angryanto rachdyatmaka |follow @angrydebritto

Sebagai lelaki normal, mata saya susah sekali berbelok dari pemandangan indah. Bak sensor yang sangat sensitif terhadap imej dan pergerakan keindahan ciptaan Tuhan dalam sosok wanita-wanita cantik yang – entah sialnya atau untungnya, mudah sekali dijumpai ke manapun melangkah.

Istri saya, selain tentu saja menggerutu dan menjewer kejahilan itu, suatu kali marah besar mendengar komentar iseng saya. “Jangan sembarangan ngomong. Mas nggak tahu kan betapa beratnya dituntut selalu tampil cantik dan menarik?” marahnya retoris.

“Kalau boleh memilih, mungkin mereka ogah pakai sepatu hak tinggi karena itu sakit bikin betis lebam-lebam biru. Gak perlu repot-repot ke salon, beli baju bagus, selalu pakai make up tebal. Banyak sekali yang harus kami korbankan untuk mendapatkan perhatian kaummu. Menyebalkan!”

Saya terdiam. Ya, kalau mau jujur, banyak kita laki-laki yang sadar atau tidak kerap hanya melihat wanita dari penampilan luarnya saja. Secara instingtif, kita lebih tertarik kepada mereka yang cantik dan menarik dibandingkan yang biasa-biasa saja dan tampil apa adanya.

Menjadi cantik, menarik dan mempesona lantas menjadi semacam tuntutan yang selalu harus dipenuhi kaum hawa. Mereka seolah kehilangan kepercayaan diri dan merasa tidak akan diterima jika mengingkari citra abadi yang terlanjur melekat – yang mudah terpeleset menjadi jati diri.

Lionel Messi bukan wanita. Tapi, dalam konteks tertentu, bintang Argentina ini mengalami persis seperti cerita di atas. Selalu dituntut untuk tampil istimewa, luar biasa dan memberikan kejayaan gilang-gemilang untuk tim yang dibelanya. Tak peduli apakah kondisinya sedang fit atau tidak, situasinya mendukung atau tidak, mood-nya sedang bagus atau tidak.

Tak banyak yang tahu bahwa tadi pagi Messi tampil dengan duka mendalam. Sahabatnya, seorang jurnalis bernama Jorge Lopez, meninggal beberapa jam sebelum pertandingan melawan Belanda dalam sebuah kecelakaan di Sao Paolo. Tak ada ruang untuk bersedih. Dengan ban hitam di lengan mengenang almarhum Alfredo di Stefano, Messi tetap harus menari meregang pertahanan Belanda.

Tak ada yang peduli dengan beban personal yang dibawa sang bintang ke Brazil. Sempat cedera panjang yang membuatnya absen berbulan-bulan, tanggung jawab baru sebagai Ayah Thiago yang membuat waktu berlatihnya berkurang, konsentrasi terpecah akibat tuduhan penggelapan pajak dan kontroversi yang mengitari Messi Sr tak pernah menjadi konsederasi terhadap penampilannya.

Sedikit sekali yang concern dengan situasi buruk organisasi permainan Argentina yang sangat mempengaruhi impact seorang Messi. Ketergantungan kepada nama besar Messi, kebintangan dan kemampuan mencetak gol penting dan ajaib seolah malah menjadi excuse bagi pemain lain untuk tidak tampil sehebat Messi. Pelatih Alejandro Sabella pun terkesan menyerahkan semua pada Messi.

Semua baik-baik saja jika menang. Messi dipuja-puji atas fakta tak terbantahkan La Albiceleste sampai di laga final Piala Dunia 2014 melulu karena seorang Messi. Satu gol ke gawang Bosnia, gol kemenangan di injury time lawan Iran, dua gol saat melawan Nigeria, assist gol tunggal atas Belgia dan terakhir gol dari titik putih ke gawang Cillessen yang membuka jalan Argentina ke final.

Tak ada lagi yang mengingat ejekan seluruh stadion terhadap Messi di Copa Amerika 2011. Saat itu Messi sampai berniat pensiun dini karena marah besar dijadikan kambing hitam kekalahan adu penalti dari Uruguay yang akhirnya juara.

Sindiran “El Catalan” membahana di stadion. Menunjuk pada tuduhan bahwa Messi tidak sepenuh hati bermain untuk tim nasional, bermain pas-pasan karena ingin dibayar dengan mata uang euro, lebih mementingkan popularitas bersama Barcelona ketimbang kerja keras untuk Argentina.

Untunglah Alejandro Sabella, pelatih baru yang ditunjuk AFA saat itu, mampu membujuk dan melunakkan hati Messi untuk mengurungkan niatnya. Resep rahasia yang dibisikkan Pep Guardiola menjadi modal berharga yang belakangan terbukti efektif meningkatkan performa sang bintang.

“Pahamilah sikap diam Messi. Bangun tim di sekitarnya, beri dia bola dan jangan pernah sekali-kali berani menggantinya,” bisik Pep. Plus diskusi panjang dengan Javier Mascherano supaya rela mengangsurkan ban kapten kepada pemilik kostum nomor 10 bertuliskan Messi di punggung.

Sejak mencetak gol ke gawang Kolombia pada November 2011, Argentina kembali jatuh cinta pada Messi. Gol demi gol dicetak dan tiba-tiba saja kini Argentina sudah berada di partai final Piala Dunia pertama mereka sejak 28 tahun yang lalu.

Tapi, jangan salah. Posisi Messi belum aman. Bagi sebagian besar orang Argentina, ini saatnya Messi membuktikan bahwa dia layak disejajarkan dengan Diego Armando Maradona. Sebelum bisa memberikan Piala Dunia, tidak akan pernah Messi diterima dan diakui sebagai legenda.

Beberapa jurnalis yang melakukan perjalanan jurnalistik ke Rosario, kota kelahiran Messi, menulis keterkejutannya betapa tidak populernya seorang Messi di sana – juga di Argentina. Rata-rata orang yang diajak bicara mengaku senang dengan bakat istimewa Messi, tapi merasa tidak memilikinya sebagai bagian dari sejarah panjang sepakbola Argentina yang penuh legenda besar.

Messi dianggap berbeda. Dia tidak dibesarkan dari keluarga miskin yang harus bekerja keras keluar dari kemiskinan dan kesusahan hidup dengan talentanya. Dia tidak lahir dari pembinaan klub lokal yang sarat kebanggaan menjadi bagian dari sebuah klub yang mentradisi dalam masyarakat.

Lagi-lagi tak ada yang peduli alasan Messi kecil terpaksa pindah ke Barcelona akibat didiagnosa terkena growth-hormone deficiency yang menjadikannya lambat tumbuh. Menjalani bulan-bulan dan tahun-tahun pertama dengan isak tangis karena harus dipisahkan dari keluarga dan lingkungannya. Orang hanya tahu Messi bukan orang Argentina sejati. Titik.

Padahal, saat berumur 16 tahun, federasi sepakbola Spanyol berusaha membujuk Messi yang menolak mentah-mentah tawaran pindah warga negara. “Saya lebih merasa sebagai orang Argentina karena bermain dengan cara yang sama seperti masa kecil saya meskipun dididik dengan sistem Barcelona,” katanya.

Itulah beban Messi. Dengan segala rekor yang dicetaknya – jauh melebihi legenda manapun di dunia, apalagi Argentina – tetap saja belum diakui secara sah sebagai bagian dari sejarah kebesaran sepakbola negara yang sangat dicintainya.

Air mata Messi menetes perlahan. Sekali lagi dia harus pulang dengan kekalahan. Gol Mario Goetze mengakhiri semua mimpinya. Bersiap menerima segala beban kesalahan... dan, sedihnya, masih tidak diakui sebagai anak Rosario pahlawan ARgentina...

Ah, Messi... Sungguh berat bebanmu...

Seberat beban kaum wanita yang kerap terpeleset menjadikan kecantian dan ke-sexy-an sebagai jati diri yang harus dikejar dengan segala cara – bahkan tak jarang dengan memaksakan dan menyakiti diri... Hai kaum pria, termasuk saya, coba terima mereka apa adanya tak melulu memelototi penampilan sebagai indikator utama penerimaan kita pada eksistensi mereka...

[Jakarta, 10/07/14, tujuh bulanan Dek Pho...]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline