Lihat ke Halaman Asli

Dilema Aktivis Gincu

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gincu atau lipstik adalah salah satu alat kosmetik wanita yang paling sering dipakai. Caranya dengan mengoleskan ke permukaan bibir sehingga tampak lebih pas dengan bentuk muka seseorang. Tidak hanya merah, sekarang macam warna tersedia ; coklat, abu-abu, sampai hitam. Tapi sayang, gincu hanya temporer. Mudah luntur kena air dan makanan.

Tujuan seseorang memakai gincu adalah untuk meningkatkan penampilan. Makanya alat-alat kosmetik disebut juga make-up, semacam mark-up pada proyek-proyek pemerintah. Seseorang yang memakai gincu lebih percaya diri, karena merasa lebih cantik daripada dia yang sebenarnya.

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita seorang penyair terkenal yang dituduh memperkosa sampai hamil seorang mahasiswi. Tulisan ini tidak membahas kasus tersebut, karena sekarang sudah ditangani polisi. Kita hormati proses hukumnya.

Yang ingin saya soroti dari kasus ini adalah reaksinya. Beragam tanggapan muncul. Mulai dari kalangan yang berseberangan secara ideologi dengan pelaku sampai dengan kolega sesama seniman di komunitas tertentu.

Tanggapan yang pertama tak perlu dibahas, karena pasti penuh dengan sindiran, celaan sampai bully-an. Tanggapan kedua yang menarik. Ada yang memilih menunggu sampai mendapat konfirmasi langsung dari pelaku, sehingga puasa bicara. Ada yang mengatakan ini ulah pribadi, tak ada sangkut pautnya dengan profesi dan komunitas. Ada yang menyalahkan kenapa sampai hamil? Seharusnya bisa dicegah dengan kondom. Ada yang bilang tiarap dan seterusnya.

Yang nyaris tak terdengar adalah suara dari aktivis feminisme. Saya perhatikan belum ada komentar yang clear dari mereka apalagi advokasi bagi korban.

Coba bandingkan dengan reaksi mereka ketika ada seorang ustad kesohor yang berpoligami. Nyinyir sekali di media, seolah-olah sang ustad sudah berbuat nista mengkhianati istri pertamanya. Lalu munculah seminar dimana-mana tentang bahaya poligami. Talkshow, buku, media sosial dimanfaatkan untuk menghabisi ustad ini. Pesan yang disampaikan adalah ustad ini tak layak lagi didengar ceramahnya karena berpoligami.

Begitu pula ketika ada TKW yang diperkosa di negeri jiran. Sungguh lantang suaranya membela. Bahkan ikut hadir untuk mengadvokasi. Dalam hal ini saya setuju, lepas dari kepentingan politik di belakangnya.

Tapi kenapa untuk kasus pemerkosaan ini bungkam? Saya bisa paham mungkin antara komunitas si penyair dan aktivis feminisme bersinggungan. Atau berteman. Dalam isu-isu tertentu seperti kebebasan agama, pluralisme, pornografi mereka sering bersama, berkawan. Mau dilawan, kolega sendiri. Tidak dilawan bertentang dengan hati. Dilema.

Meski tidak semua, mereka yang tidak objektif tersebut pantaslah disebut aktivis gincu. Aktivis yang hanya mementingkan tampilan tapi fakir substansi. Aktivis yang tebang pilih isu, ketika menimpa kawan sendiri berdalih dengan memelintir kata dan berita. Aktivis yang sesungguhnya mereka bukan aktivis, hanya kumpulan orang-orang yang punya kepentingan sama, bekerjasama lalu mendapat imbalan dari itu.

Saya yakin 1000%, dilema aktivis gincu akan terulang kembali dengan isu yang berbeda. Wajah asli mereka akan tampak. Seperti halnya gincu yang dapat mempercantik muka, namun bersifat sementara.

Blog : www.inisifani.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline