Lihat ke Halaman Asli

(Pembangunan Apartemen Nine Residence Kemang): Brang-Breng-Brong Itu Melecehkan Pemerintah Pusat, Jokowi, dan Rakyat

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sejak masih duduk di bangku sekolah hingga berkehidupan di arena Kampus, tak pernah sekalipun aku menceburkan diri dalam sebuah organisasi. Tapi sekarang, aku mulai paham kenapa ada pihak yang habis kesabarannya hingga harus menggelar aksi turun ke jalan.

Ketika ada masalah, maka harus ada pula yang disalahkan. Setidaknya, Menteri BUMN Dahlan Iskan pernah menyatakan sikap dengan memikul kesalahan ketika harga gas elpiji 12 kilogram harus naik sekitar 60 persen. Meski beberapa hari kemudian kenaikan harga lantaran Pertamina tekor terus cuma jadi Rp 1.000 saja perkilonya, penyesuaian harga itu pun akhirnya mengundang polemik di masyarakat. Tapi, bukan ini yang ingin dibicarakan.

Sudah satu tahun lebih sejak Januari 2013 lalu, pembangunan Apartemen Nine Residence Kemang berjalan. Mulanya, memang sudah ada masalah ketika pekerjaan pengerukan tanah untuk basement, dilakukan 24 jam sehari.

Suara mesin traktor menggaung tiap malam sampai pagi dan penancapan tiang pancang dengan cara mengebor, hingga pembuatan kerangka bangunan mengganggu kenyamanan warga di sekitarnya. Klakson crane tanda beban melebihi batas pun terdengar sampai RW tetangga yang berjarak kira-kira 1 kilometer lebih.

Lima bulan kemudian sejak Januari 2013 tepatnya pada 28 Mei di tahun yang sama, barulah pengembang mengundang warga untuk duduk bersama membicarakan rencana mereka termasuk sebagai pemenuhan salah satu syarat perizinan yaitu pelibatan masyarakat sekitar dengan menggelar konsultasi publik membahas analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012)pun, sudah sah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang mengatur dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu instrumen kajian lingkungan hidup (dalam bentuk amdal dan UKL-UPL) serta instrumen Izin Lingkungan.

Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA menegaskan : “PP ini pertanda bahwa implementasi UU 32/2009 akan semakin terlaksana dengan lebih baik. Walaupun baru satu PP turunan UU 32/2009 yang dapat diterbitkan, namun PP ini sangat berkekuatan (Powerful) untuk menjaga lingkungan hidup kita. PP ini meletakkan kelayakan lingkungan sebagai dasar izin lingkungan sehingga enforceable dengan sanksi yang jelas dan tegas,” begitu kata Balthasar dalam sosialisasi PP nomor 27 tahun 2012 di Jakarta pada 16 Maret 2012 lalu.

Sementara itu, Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 72 Tahun 2002 Pasal 2 ayat

(1)mengatakan Setiap kegiatan membangun harus terlebih dahulu memiliki izin membangun dari Dinas atau Suku Dinas. Ayat (2) Izin membangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. Izin Pendahuluan OP), sesuai tahapan pelaksanaan yang diizinkan; b. Izin Mendirkan Bangunan (1MB); c. Izin Khusus atau Keterangan Membangun.

(2)Sementara itu, pada Pasal 5 ayat (2) pada Peraturan yang sama menegaskan setiap pelaksanaan kegiatan membangun harus menjaga dan memperhatikan keselamatan, kebersihan, keamanan bangunan dan lingkungan serta pencecahan dan penanggulangan bahaya kebakaran, antara lain harus menyediakan Alat Pemadam Api Ringan (APAR). Nah, ini yang juga tidak kalah penting. Pada pasal 6 Pergub DKI Jakarta nomor 72 tahun 2002, disebutkan “Waktu pelaksanaan kegiatan membangun hanya diperkenankan mulai pukul 06.00 s.d 18.00.” ayat 2 menyebutkan apabila pekerjaan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Direksi Pengawas wajib melaporkan terlebih dahulu kepada Dinas. Ayat (3) menegaskan kegiatan membangun yang menimbulkan polusi udara atau suara serta menghasilkan limbah padat ataupun cair tidak boleh menggangu lingkungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Jelaskan peraturannya. Tapi apa yang terjadi ? Ketika dikomplain soal brang-breng-brong aktifitas pembangunan yang dilakukan 24 jam sehari, perwakilan kontraktor (PT PP) yang sebenarnya oknum petugas Polres Metro Jakarta bernama Briptu Rahmat, malah ngotot lewat telepon.

"Terus sekarang situ mau apa?," kata Rahmat melalui sambungan telepon seluler milik petugas Satpam proyek kepada saya dengan nada ketus karena menyampaikan keluhan berisik.

Usai Rahmat ngotot lewat telpon, diutuslah dua orang anggota Ormas yang mengibarkan nama Betawi di benderanya. Padahal gua sendiri anak kampung Warung Buncit 12 asli dari zaman engkong buyut.

"Sialan, gua diadu ama orang sini juga," kataku dalam hati saat jam mengatakan sebentar lagi waktunya makan sahur bulan Ramadhan tahun 2013 lalu.

Singkat cerita, siangnya Rahmat datang dikawal dua anggota Ormas Betawi tadi sambil petantang-petenteng busungin dada di halaman rumahku. Dari gelagatnya, mungkin dia mau bilang : "Gua Polisi ni. Apa iya lu berani ngadepin gua," tebakku.

Pembicaraan langsung serius, meski sesekali aku cengengesan di depan muka bapak oknum Polisi itu. Setelah sampaikan komplain gara-gara keberisikan, aku pun mempertanyakan kelengkapan izin bangunan itu. Sebab bukan apa-apa, aku dan warga lainnya belum pernah bilang setuju secara resmi kalau mereka boleh brang-breng-brong 24 jam sehari.

Satu map berisi foto copy surat izin berkop surat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi disodorkan Rahmat kepadaku, sambil bilang : "Kami sudah mengantongi izin kerja 24 jam," ketusnya yakin benar.

Bah, urusan apa soal pekerja denganku sebagai warga yang berada dekat lokasi pembangunan calon hunian orang-orang kaya itu ? Tolol sekali oknum petugas ini. Mau kuli-kuli tak digaji atau langsung ditembak mati usai bekerja, itu tak ada urusannya denganku.

"Urusan proyek sama saya sebagai warga itu soal kuping mas, bukan soal pekerja. Hahahahaha," kataku diselingi tawa mengejek tolol kepada wakil yang dipilih kontraktor itu.

Sebulan dua-bulan, akhirnya Lebaran Idul Adha pun tiba. Sementara keluhanku dan warga lainnya tak juga ditanggapi. Aku pun mengecamnya dengan kembali mendesak Briptu Rahmat yang kelewat pintar ini agar segera menyelesaikan persoalan ini. Hasilnya, setelah merasa mentok dan tak punya bahan alasan lagi, persoalan pun digeser ke Mansyur, anak almarhum tokoh setempat yang katanya bekas jawara.

Meski sempat marah persoalan dilimpahkan ke dia, di tengah perjalanan menyelesaikan persoalan Mansyur menghubungi nomor smartphone-ku yang pesawatnya kini sudah kusedekahkan ke maling.

"Kite kerje ga ade yang gaji ni Bob. Jadi gimane kalo kite perjuangin kompensasi dan kite potong 30 persen ?" kata Mansyur bernada setan merayuku. Dia pun memintaku datang ke rumah bapaknya yang ternyata di sana sudah ada Erwin, pengawas 'centeng' proyek yang juga mengaku sebagai perwakilan dari Grup Lippo sebagai pemilik bangunan.

Asal tahu saja, namaku Mahbub Junaidi. Tapi orang-orang lebih mengenalku dengan panggilan Bob. Dan pengakuan Erwin soal kapasitasnya pun, sama seperti Mansyur, yaitu wakil dari Lippo Grup sebagai pemilik apartemen tersebut.

"Izin konstruksi sudah kami kantongi dan proposal Amdal yang kami ajukan sudah masuk masa sidang. Jadi tidak ada yang bisa menghentikan pelaksanaan proyek ini," kata Erwin tiba-tiba ketika pertama kali bertemu sambil menyodorkan map yang lagi-lagi berkop surat Kemenakertrans sambil mengklaim bahwa izin pembangunan sudah lengkap.

"Izin konstruksi juga sudah kami kantongi. Jadi, kurang apalagi?" lanjut Erwin yang sebenarnya aku rasa mempertontonkan ketololannya.

Pikiranku pun mengawang-awang. Ini dia yang disebut bangun duluan izin belakangan. Akibatnya, banjir tambah dalem, air tanah makin dikit, macet tambah kusut dan pastinya polusi makin ganas, tanah Jakarta jadi gembur, serta Jakarta tambah padat. Wah wah wah. Begini toh cara membangun yang benar menurut penghuni ibukota.

Memang, kami sudah menduga bahwa ada yang salah dalam pelaksanaan pembangunan Apartemen Nine Residence Kemang sejak awal. Sebab, warga tak pernah menyatakan persetujuannya secara resmi tapi pembangunan tetap jalan. Pas dikomplain pun aktifitas jalan terus, eh malah bilang "silahkan lapor ke Gubernur yang juga ga mungkin bisa menghentikan kami". Makanya, kami layangkan surat pernyataan keberatan ke Gubernur Jokowi pada 4 Desember 2013 lalu dan ditembuskan ke pejabat publik setempat sampai Ketua RT. Tapi ternyata, yang merespon 'centeng' lagi.

Kemudian, Kepala Kecamatan Pancoran sebagai penguasa administrasi setempat, di mana pembangunan calon hunian orang kaya itu dibangun di wilayah RT 002 RW 05, Duren Tiga, merespon surat yang dilayangkan ke Jokowi tadi dengan mengundang enam kepala keluarga (kk) sekitar lokasi proyek. Lho, kok cuma enam ? Sedangkan ada 100 kk lebih termasuk warga RT 001 RW 03, Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan yang terganggu.

Dalam pertemuan di ruang rapat Kecamatan Pancoran itu, diputuskan akan ada penawaran kesepakatan kompensasi dari pihak pengembang kepada enam kk tadi pada tanggal 10 Januari 2014. Padahal jelas, yang diprotes itu bukan soal duit. Tapi ada ga jaminan warga ga bakal kekeringan, ga ngerasain limbah atau polusi aktifitas mereka dan ada ga jaminan ketersediaan lapangan kerja buat orang kampung ? Asal tahu saja, bagi pengendara yang rutin melintas Warung Buncit Raya hingga Mampang Prapatan, kemacetan lalu lintas sudah sangat semrawut. Apalagi kalau ada apartemen lengkap dengan pusat perbelanjaan. Tebak saja sendiri akibatnya.

Kalau semua tuntutan tadi sudah dijamin, baru diomongin soal kompensasi lantaran mereka udah berisik 24 jam sehari.

Sekarang, sudah tanggal ... Tapi yang dijanjikan Erwin, Rahmat dan Mansyur kepada enam kepala keluarga tadi di hadapan Camat, Lurah, RT, RW, ketua LMK dan anggota Dewan Kota di wilayah Kecamatan Pancoran, ga pernah kejadian. Boleh diduga, ini akal-akalan untuk mengulur waktu dan tahu-tahu proyek rampung.

Sementara itu, kalau surat keberatan yang sudah sampai ke Jokowi mau direspon, seharusnya, minimal pihak Walikota Jakarta Selatan-lah yang menjadi penengah sekaligus penindak atas adanya aktifitas pembangunan tanpa kelengkapan izin tersebut. Bukan cuma Kecamatan Pancoran dong !

Apa susahnya permisi sesuai aturan, adat dan budaya kita sebagai orang Indonesia ? Lagi pula, bukankah Jokowi sudah menegaskan akan menindak keras pembangunan apartemen tanpa Amdal di Jakarta. Tapi kok, kayanya Gubernur kita ga tahu ya apartemen Nine Residence Kemang itu ga punya izin dimaksud. Atau jangan-jangan, pejabat publik setempat sudah dibekep duit makanya ogah lapor ke atasannya yang orang nomor wahid di ibukota itu.

Yah, kalau pemimpinnya saja sudah berani dilecehkan sama yang pegang duit, bagaimana rakyatnya ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline