Lihat ke Halaman Asli

Syarwan Edy

@paji_hajju

Suara Perempuan: Women from Rote Island

Diperbarui: 14 Maret 2024   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: milik pribadi

Suara-suara perempuan dewasa ini banyak sekali digunakan untuk sebuah lelucon-lelucon atau bahkan kepentingan semata bagi kalangan atau pihak tertentu. Suara perempuan yang selama ini tidak didengar karena ditekan oleh ganasnya patriarki yang mendominasi segala aspek. 

Perempuan dilihat sebagai objek bukan subjek dan ketimpangan relasi kuasa dalam hubungan pun kian subur adanya yang mengatasnamakan agama dan budaya. 

Perempuan yang menjadi korban pelecehan pun masih disalahkan karena seolah 'memancing' perilaku tersebut. Adat istiadat pun telah menenggelamkan hak-hak perempuan dalam kehidupannya dengan segala doktrin yang kebablasan.

Sekali lagi perempuan cuma dilihat sebagai 'tema' yang bisa dikooptasi, bukan subyek yang setara dalam perjuangan untuk memenuhi kebutuhannya. Dan di dalam budaya perkosaan, perempuan dilihat sebagai objek dan komentar serta lelucon seksual yang mendiskriminasi dianggap lucu. 

Miris, bukan? Menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan. Menjadi perempuan juga berarti hidup dalam dilema. Ia dipuja dan dibutuhkan, namun dijajah sepanjang jalan kenangan. Tubuh perempuan bukan komoditas, tapi perempuan berhak mengatur sendiri apa yang akan dia lakukan dengan tubuhnya. 

Ester Lianawati dalam bukunya 'Akhir Pejantanan Dunia' ia mengatakan bahwa laki-laki mereduksi perempuan dalam tiga esensi paradoksal: perawan, ibu dan pelacur. Perawan untuk menjamin kemurnian dari keturunannya, ibu untuk memberinya keturunan, dan pelacur untuk memberi kenikmatan seksual.Apakah memang benar adanya? Perempuan adalah pilar kekuatan, kecerdasan, dan kelembutan. Juga Ester menulis dalam buku terbarunya 'Dari Rahim Ini Aku Bicara' ia mengemukakan sesuatu yang berbeda yakni; tubuh perempuan menyimpan sejarah, menyimpan cerita. Sebab itu, tubuh ini bisa bicara, dan hendaknya dibiarkan bicara.

Hak-hak perempuan mesti sepenuhnya untuk diperjuangkan sampai tuntas. Bukan berarti membenci dan merendahkan pihak lainnya. Dan tidak juga untuk menuntut bahwa perempuan lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki. Tapi disini, yang terpenting menginginkan perempuan dilihat sebagai manusia. Manusia yang dimanusiakan dan juga hadir kepermukaan sebagai wujud manusia yang merdeka seutuhnya. 

Namun sayangnya, perempuan dalam iklan kerap melanggengkan eksploitasi yang bersembunyi di balik dalil ekplorasi. Kebebasan ekspresi yang diperjuangkan justru menjadi ladang mengeksploitasi perempuan. Manipulasi dan dehumanisasi perempuan lagi marak-maraknya hingga muncul juga dalam perfilman yang hadirnya sebagai sosok yang menakutkan.

Lalu Nadya Karima Melati dalam bukunya 'Membicarakan Feminisme' ia dengan lihai menggambarkan bahwa viktimisasi dan kriminalisasi yang dilakukan terhadap korban kekerasan seksual menghasilkan hantu perempuan yang kejam dan menakutkan. 

Sundal bolong adalah korban perkosaan yang dicap sebagai pelacur, kuntilanak adalah seorang ibu yang terusir dari tanahnya akibat pembangunan kota Pontianak, wewe gombel menculik anak orang lain karena dia kehilangan anaknya akibat pernikahan di usia dini dan hamil muda. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline