Lihat ke Halaman Asli

Syarwan Edy

@paji_hajju

Masyarakat Setengah Neoliberalisme?

Diperbarui: 4 April 2023   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: Milik pribadi

Jika ilmu pengetahuan modern relatif terlambat menemukan kelenjar penial, orang-orang kuno sudah pasti mengetahui tentang hal itu jauh lebih awal, dan juga percaya bahwa mereka paham akan kegunaannya.

Terhapusnya Acuan Dasar

Apropirasi (Menjadi milik diri) atau pemahaman diri ini menandai pertemuan antara dunia yang disarankan oleh teks (iklan, buku, regulasi dll) dan dunia konkret pembaca dan penafsir. Sebagai masyarakat yang di didik dari lewat pendidikan formal, setidaknya kita pernah menjalani pertemuan dua dunia atau sering disebut sebagai proses peleburan diri. 

Zaman ini ditandai dengan era simulasi yang dimulai dengan terhapusnya acuan-acuan dasar masyarakat Indonesia, terlebih pada regulasi yang dibuat sebagai pedoman berfikir dan bertindak. Akibat dari itu adalah timbulnya bentuk-bentuk konkret penolakan terhadap berbagai kekuasaan, baik kekuasaan "Demokratis Murni" maupun "Demokratis interventif". 

Menghilangnya acuan-acun dasar tersebut berupa nilai dan norma yang terkandung didalam teks konstitusi maupun agama dipengaruhi oleh masuknya gelombang ideologi luar yang tidak mampu dibendung oleh beberapa negara berkembang seperti Indonesia sebagai upaya intervensi melalui cara-cara yang modern, menjadikan masyarakat Indonesia berjalan tanpa arah karena kuatnya pengaruh ideologi dalam memberikan batasan signifikan bagi negara.

Apakah Kita Neoliberalisme?

Sejak awal peralihan dari orde lama ke orde baru lalu reformasi, neoliberalisme dianggap sebagai sebuah jalan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan perkembangan ekonomi negara. Namun faktanya justru berbanding terbalik. Alih-alih demi menarik perhatian investor asing, negara pun merelakan kesejahteraan masyarakatnya. 

Pada tahun 1998, neoliberalisme mulai menampakkan dirinya melalui pintu IMF. Misalnya, yang dilakukan pada awal 1998 di mana lewat dana IMF digelontorkan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp. 140 Triliun tetapi dipakai untuk membiayai capital flight melalui transaksi derivatif, yang jumlahnya seperti diakui oleh IMF, Rp. 20 triliun. 

Stiglitz, salah satu pengkritik IMF mengatakan bahwa jika ekonomi suatu negara turun semestinya kebijakan moneter dan fiskal dilonggarkan, sebagaimana terjadi di Amerika dan Jepang tahun 30-an tapi ketika IMF menghadapi soal yang sama, tambah negara dianjurkan untuk melakukan pengangkatan yang justru makin memperdalam krisis. 

Lalu bagaimana dengan sekarang? Jawabannya telah kita lalui saat kita ditimpa musibah COVID-19 yang memaksakan negara harus berhutang. Mungkin saja akan lebih jelasnya kita temui pada pembangunan IKN Indonesia. 

Seperti yang disampaikan oleh CNN tertanggal 9 Maret 2023 bahwa Presiden Indonesia Pak Joko Widodo memberikan insentif berupa pembahasan pajak penghasilan (PPh)badan bagi perusahaan asing yang mau memindahkan kantornya ke ibukota negara (IKN) Nusantara yang memiliki potensi bebas pajak bagi perusahaan asing. Investasi bagi pemindahan ibukota negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan tentunya membutuhkan biaya yang besar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline