Lihat ke Halaman Asli

Syarwan Edy

@paji_hajju

Setelah Ibu Melahirkan Puisi

Diperbarui: 22 Januari 2023   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sumber Foto : bluegirl016.files.wordpress.com"

Mengucap doa, terbayang dalam angan lelah mencari takdir. Hawa mendung hadirkan aksara hujan dan rindu mekar di hati. Angin bertiup, memeluk erat jiwa mengobati rasa luka. Di beranda kafan, tertulis suratan cinta menyakitkan tanpa sepatah kata. Pada warna senja, semua isi lamunan menutup segala yang semu. Pada jingga yang merekah, ada kisah sesosok semesta bermata sendu. Pasrah berserah, menyapu mimpi di lembar langit pada bibir cangkirnya.

Setelah ibu melahirkan puisi, menyimpan kesedihan di balik suguhan tawa yang menggema. Membisu, hanya terdengar isak dari sesak yang tak terelak. Mendekap rindu, bercengkrama dengan remang cahaya yang abadi dalam kegelapan. Lara bermukim di jiwa, tanamkan ribuan belati tanpa hangat mentari. Menyendiri, layaknya rumah kosong tak berpenghuni. Meninggalkan duka, mati karena patah hati dan dilema dalam jejak kelabu di atap rindu.

Setelah ibu melahirkan puisi, krisis kewarasan di tutup rapat-rapat. Ketenangan penguasa tak lagi di anggap menganggu kenyamanan. Jabatan, menjadi daya tarik kesekian agar tidak mengundang malapetaka. Seragam, rapi berapi-api dan tidak lagi membuat kisah kelam. Kemanusiaan lantang di suarakan, semakin dalam tak tenggelam. Pemimpin yang jujur, ia bijak bukan hanya dalam dongeng semata. Anak-anak pertiwi, semakin kaya ilmu dan terang masa depan. Politisi tulus, menghindari hal-hal menipu kewajaran. Hukum, tak selalu tentang mencuri keadilan. Demokrasi, terus bergerak maju tak di atas kepentingan atau manipulasi budaya. Negeri, tumbuh subur dan masyarakat makmur bukan lagi banyak yang sekarat, melarat.

Pada sunyi malam, suara jeritan redup menjawab dengan isyarat bahasa bisu. Kepercayaan, menghargai, maaf dan terimakasih. Semuanya bahagia atas luka gerimis di paksa terpejam mengikuti detak kanvas waktu. Pada embun pagi, langit-langit murung karena menunggu kabar hujan. Menjaga, merawat dan memelihara. Kesemuanya ini hilang seketika dalam kedipan mata. Sesudah rintik tertidur pulas, selembar puisi sedang termenung mengharap iba dari ibu yang belum menjadi abu. Menit berlalu, tanya tak kunjung temu lalu akhirnya ia layu perlahan-lahan.

Setelah ibu melahirkan puisi, hutang-hutang tuntas, koruptor penuh sadar, korupsi mulai surut, pengusaha tak lagi memonopoli, aturan-aturan penuh ramah dan banyak syarat, banyak juga manfaat. Sawah-sawah di banjiri air, para petani sejahtera, hasil bumi dinikmati semua kalangan nusantara, bahan-bahan pokok turun harga, hak-hak terpenuhi dan asap di dapur tetap mengepul sepanjang jalan sejarah. Di pasar tak ada lagi pungli, tempat ibadah penuh suasana haru, orang-orang melayani dengan hati, nurani tetap mengudara dan menghormati sesama terus melekat di dalam jiwa. Gelak tawa terus riak, kebenaran tidak selalu berakhir di penjara, banyak empati, tak ada lagi sensasi dan janji-janji setelah lima tahun kembali.

Setelah ibu melahirkan puisi, walaupun ini hanya dalam mimpi. Sepi, mengunjungi musim gugur dengan luka dan awan hitam yang masih saja tertinggal di kepala. Semi, berganti semu membuat mata penuh nanar menatap dan membasahi pipi yang tak pernah reda, padam menyiapkan segala duka. Detik terus berdetak, semua masih sama di landa kesengsaraan yang tak kunjung berakhir. Rasa menjerit parah, harapan patah, tujuan tak lagi terarah dan banyak hati tidak lagi bergairah dengan petuah-petuah karena tak ada bukti nyata. Semua hanya ilusi, bunga-bunga tidur di kala merasa gundah dan resah.

Sebelum ibu mengubur lukanya sendiri, kita adalah potongan-potongan kecil yang terlupakan dari bilik sejarah. Kita adalah budak-budak sajak di paksa naik ke mimbar bebas untuk memberi senyum terhadap sesama. Mungkin juga kita adalah jejak-jejak yang terinjak oleh orang-orang kita sendiri. Dan setelah ibu di bungkam di jeruji, sandiwara masih menari-nari mencari sesuap nasi meskipun itu di jalan tirani. Lalu setelah ibu mati di tikam anak sendiri, ada banyak doa-doa kebohongan yang tak bisa di pungkiri. Ada ratapan sengaja untuk di tangisi, ada luka juga yang sengaja di obati. Ibu tidak ada lagi di sisi, kita yatim piatu di rumah, di tanah air sendiri. Sungguh, ini tragis, tragedi diri sebagai anak negeri.

Oleh : Syarwan Edy

Oepura, 22 Januari 2023

#Masyarakat #Antek #Kenangan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline