Suara gaduh
Di puncak kelam, aku melanglang di alam aksara. Meramu diksi, membakar lara. Bagai awan putih di nabastala. Membahasakan asa, renjana mendamba pandangan mata. Menempa atma nan derana.
Tentang sepasang mimpi yang hingar-bingar ataupun hujan rintik-rintik menyanyikan lagu berirama rindu. Mendung kembali menyapa dengan bahasa dan janji-janji manis. Tidak kalah absurd dengan drama cinta segitiga atau sejenisnya.
Orang-orang sibuk menghakimi, seperti menikmati senja yang merah merona di seberang pulau. Padahal berteman dengan kedamaian adalah sejatinya hidup. Kelak mungkin berlalu, tapi tangisan berlapis-lapis di tanah kering mungkin tidak.
Sepertinya tidak ada hidup, yang ada hanyalah kehidupan yang dihidupi.
Lelah tak dihargai. Di ujung jalan sumpah serapah dikenang layaknya mencintai orang yang salah. Dendam memenuhi ruang, berkumpul memainkan peran dan diam-diam merumuskan dosa atas sesama.
Dalam gelap gulita jiwa kelana seperti kemarin membisik meraup candu dusta. Mencari celah menikmati tahta penuh angkara. Sialan! Tak sama rasa. Begitulah ringkih jangkrik sebelum fajar datang menghadang.
Suara gaduh, tertindas dan menindas. Penuh ambisi melekat hingga ke urat nadi. Sadis, bengis, miris, tragis seperti Ibu kehilangan ibanya. Sumringah dibawa paras purnama memilih menipu lewat bongkahan kata.
Di saban waktu percaya sebatas rasa hormat. Membisu dalam palung hening. Sebab diam jua memiliki makna.
Oepura, 20 Oktober 2022