Lihat ke Halaman Asli

Jack Febrian Rusdi

PhD bidang ICT. Dosen dan Peneliti

Mahasiswa, Buku, dan Era Digital: Sebuah Ironi Dunia Pendidikan?

Diperbarui: 22 Agustus 2024   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Haus Bacaan? Animo pengunjung kegiatan Bazar Buku oleh Toko Buku Gramedia Merdeka Bandung pertengahan Februari 2024 (Dokpri)

Pada bulan Maret lalu, saya berkesempatan mengunjungi 60 perguruan tinggi di 11 kota/kabupaten di Jawa Barat, selama lima minggu berturut-turut. Dari berbagai pertemuan yang dilakukan, satu hal yang cukup menarik perhatian saya adalah rendahnya minat baca mahasiswa saat ini. Bahkan, beberapa mahasiswa mengaku tidak pernah membeli buku untuk menunjang perkuliahan mereka, sampai akhirnya mereka lolos sebagai sarjana. Ironisnya, ada juga yang mengaku bahkan tidak pernah membuka buku selama masa perkuliahan, apalagi dengan adanya kuliah online yang semakin memudahkan akses informasi tanpa harus membuka buku fisik.

Fenomena ini tentu mengundang tanya, mengingat buku merupakan salah satu pilar utama dalam membangun pengetahuan, khususnya di dunia pendidikan. Alasan yang dikemukakan oleh mahasiswa cukup beragam, mulai dari ketersediaan buku elektronik hingga banyaknya situs web dan video pembelajaran yang dapat diakses dengan mudah. Apalagi dengan perkembangan era digital yang pesat pada saat ini, seolah buku fisik menjadi barang usang yang tergantikan oleh layar gawai. Beberapa dosen yang saya temui pun mengakui adanya pergeseran ini.

Saya sempat melontarkan pertanyaan kepada beberapa pejabat perguruan tinggi, "Di laptop Bapak, mungkin terdapat buku-buku terbaik dunia dalam bentuk ebook. Pertanyaannya, kapan terakhir kali Bapak membacanya?" Sebagian tertawa mendengar pertanyaan tersebut. Bahkan, ada yang menjawab bahwa ia baru menyadari keberadaan buku-buku tersebut saat harus menghapus file karena hard disk-nya penuh.

Fenomena ini tentu ironis. Di satu sisi, kita memiliki akses tak terbatas ke informasi dan pengetahuan melalui teknologi digital. Namun, di sisi lain, minat untuk membaca buku -- sumber pengetahuan yang telah teruji selama berabad-abad -- justru semakin menurun, terutama di kalangan generasi muda di tanah air ini.

Data menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca 5-6 buku per tahun. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain seperti Finlandia (47 buku per tahun) atau Jepang (13 buku per tahun). Bahkan, Amerika Serikat yang sering dianggap sebagai masyarakat yang didominasi oleh budaya digital, memiliki rata-rata 12 buku per tahun. Bahkan saya pernah membaca hasil temuan yang menyatakan, di Indonesia 1 buku untuk 1000 penduduk.

Tentu saja, kehadiran teknologi digital memiliki banyak manfaat. E-book dan platform pembelajaran online menawarkan akses yang lebih mudah dan terjangkau ke berbagai sumber pengetahuan. Namun, kita tidak boleh melupakan nilai dan manfaat membaca buku fisik. Buku tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga melatih kemampuan berpikir kritis, meningkatkan kosakata, dan memperluas wawasan.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mendorong budaya membaca di kalangan mahasiswa, bahkan sejak usia dini. Perguruan tinggi dapat berperan aktif dengan menyediakan lebih banyak ruang baca yang nyaman, mengadakan program literasi, dan memberikan insentif bagi mahasiswa yang aktif membaca. Selain itu, dosen juga dapat memberikan tugas-tugas yang mendorong mahasiswa untuk membaca buku, bukan hanya mengandalkan sumber-sumber online.

Anak dan buku, Mahasiswa dan buku? (dokpri)

Kita harus menyadari bahwa teknologi digital adalah alat, bukan tujuan akhir. Buku tetaplah sumber pengetahuan yang tak tergantikan. Mari kita budayakan kembali minat baca, dimulai sejak masa anak-anak, sehingga generasi muda kita dapat menjadi generasi yang cerdas, kritis, dan berwawasan luas.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline