Lihat ke Halaman Asli

Telepon Surga dan Masyarakat Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu saya baru saja menyelesaikan buku Mitch Albom berjudul The First Phone Call From Heaven. Terlihat dari judulnya, buku ini berkisah tentang suatu daerah rural (seperti pedesaan) yang mendapat ‘keajaiban’ berupa telepon dari surga. Bermula dari wilayah Coldwater, suatu daerah yang relatif sepi dan jauh dari daerah urban, seorang wanita tiba-tiba mendapatkan telepon yang mengaku dari ibunya yang sudah meninggal. Ternyata, tidak hanya dia yang mengalami telepon ajaib tersebut. Ada sekitar 5-7 orang lain yang ternyata mendapatkan dering telepon setelahnya. Alhasil, setelah diliput media, Coldwater yang awalnya daerah tenang menjadi banjir pendatang. Orang-orang religius dari berbagai gereja rela mendirikan tenda di depan rumah penerima keajaiban agar bisa berdoa bersama. Orang-orang yang menginginkan kolega atau keluargnya yang sudah mati untuk kembali, berbondong-bondong mencari keajaiban di Coldwater. [caption id="" align="aligncenter" width="128" caption="Cover Buku (sumber: books.google.com)"][/caption] Dalam buku ini, saya mendapati kesamaan cerita dengan kehidupan sehari-hari. Ketika sebuah fenomena aneh terjadi, apa yang dilakukan oleh orang-orang? Setelah kaget, ada beberapa golongan orang-orang berdasarkan reaksi mereka:

  1. orang yang meyakini hal tersebut dan ingin menyampaikan kabar baik kepada masyarakat. Dalam buku ini adalah para penerima telepon yang menceritakan pengalamannya mendapatkan telepon dari surga.
  2. orang yang langsung percaya dan terpengaruh oleh keberadaan fenomena tersebut. Dalam hal ini adalah, orang-orang yang langsung percaya dan mendewakan para penerima telepon.
  3. orang yang iri karena fenomena itu tidak terjadi pada dirinya sehingga dia  berusaha untuk mengungkapkan (sesuatu yang dia anggap) kebohongan. Dalam buku ini ada seorang tokoh bernama Sully yang merasa terganggu karena anaknya jadi berharap mendapat telepon dari ibunya yang sudah meninggal. Sully kemudian mencari tahu fakta di balik fenomena ini.
  4. orang yang bertindak hati-hati. Dalam konteks ini adalah pastor yang merasa aneh dengan fenomena tersebut.
  5. orang yang mengkomersilkan fenomena tersebut. Di cerita ini disebutkan ada sherif, pengusaha telepon, dan media yang memanfaatkan fenomena ini untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
  6. orang yang tidak peduli.

Menurut saya, hal ini tidak hanya terjadi pada fenomena ‘telepon surga’ di Coldwater. Di Indonesia, sering terjadi fenomena atau isu hangat yang kemudian di-blow-up oleh media, terlebih masalah politik. Isu-isu panas tersebut biasanya langsung menimbulkan reaksi masyarakat yang cukup viral, seperti pemblokiran situs Islam, sikap Ahok terhadap miras, kelalaian Jokowi dalam kebijakan uang muka mobil pemerintah, anti terorisme ISIS, dll. Sayangnya, sepengamatan saya, kebanyakan masyarakat Indonesia adalah orang yang mudah terprovokasi, sehingga tergolong golongan ke-2: orang yang langsung percaya dan terpengaruh oleh keberadaan fenomena tersebut. Saya sering menjumpai komentar di media sosial dan internet (termasuk Kompasiana) yang diberikan tanpa data yang valid, penelusuran yang dalam, serta covering both sides. Saya rasa, mustahil kita mendapatkan kesimpulan dan melakukan tindakan yang benar apabila data yang kita punya tidak komprehensif.  Terlebih sejak pemilu 2014, saya sangat heran menjumpai ada orang-orang  yang percaya bahwa apa pun yang dilakukan Jokowi pasti benar atau pasti salah. Menurut saya, sikap tersebut tidak lagi berdasarkan data dan informasi yang reliable, tapi karena sudah ada prasangka. Menguti kata Shofwan Albanna:

“JIL atau Anti-JIL? Fans PKS atau PKS-haters? Pro-Jokowi atau Anti-Jokowi? Perilakunya sering mirip-mirip: konsepsi kita yang sudah ada sebelumnya kemudian menjadi dasar untuk memilih informasi dan memperkuat keyakinan bahwa kitalah yang benar dan kelompok yang kita benci itulah yang salah. Tak heran broadcast yang tidak jelas sumbernya dan kutipan cuitan di twitter menjadi sangat populer.”

***

Ketika saya sudah menyelesaikan cerita tersebut, saya cukup kaget mengetahui ending-nya. Kemudian saya mencoba mengingat golongan orang-orang berdasarkan reaksi mereka terhadap fenomena ‘telepon dari surga’ tersebut. Ketahuilah, ternyata yang paling dirugikan adalah golongan kedua.

PS: tulisan Shofwan Albanna berjudul Mengalahkan Prasangka cukup baik untuk dibaca dan dijadikan refleksi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline