Lihat ke Halaman Asli

Kafirlah Aku

Diperbarui: 28 Oktober 2015   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penjajah itu pergi dari Bumi Pertiwi meninggalkan segudang amunisi, candu, kebudayan, dan sejumlah property. Rel kereta yang oleh Ranggawarsita disebut “kalung wesi tanah Jowo’ gak dibawa serta. Selain moda transportasi, mereka juga meninggalkan sistem pendidikan, sistem perkebunan, dan jangan lupa, sistem hukum kita juga masih peninggalan penjajah Belanda.
Satu hal yang juga ditinggalkan oleh penjajah Belanda adalah agama. Karena tercecer, maka aku pungut, aku rawat dan kini aku peluk. Jadilah aku nasrani, atau apalah namanya, sebagian kamu mengatakan aku ini kafir. Dan aku tidak masalah.
Dalam kekafiranku aku sering merenung, apalah bedanya aku dengan para ahli hukum yang masih memeluk kitab hukum tinggalan Belanda? Apa bedanya aku dengan para pahlawan yang mendapatkan pendidikan barat? Bedanya aku dengan penumpang Kereta Api tinggalam Belanda? Dengan mereka yang mewarisi sistem perkebunannya?

Bagiku, yang terpenting adalah bahwa aku telah memeluk keyakinanku. Itu cukup. Bahwa keyakinanku juga keyakinan penjajah itu soal sejarah. Tuhan berkarya melalui apa saja, bisa lewat perdagangan, pendidikan, bahkan penjajahan. Bagiku, semua perjumpaan adalah kehendakNya. Meskipun agamaku kebetulan juga agama penjajah, demi Tuhan, aku tidak pernah merasa terikat dengan mereka. Aku memberi batas yang tegas antara agama dan siapa yang pernah memeluknya. Aku bisa melihat dengan jernih batas antara agama yang mereka bawa dengan tatacara hidup mereka, kebudayaan mereka, pemerintahan mereka. Sehingga agama yang kupeluk bukan agama Belanda. Tapi Nasrani. Dan sebagian kamu lebih suka menyebutku Kafir entah atas tuhan yang mana. Dan sekali lagi, aku tidak masalah.

Aku lahir tidak jauh dari fragmen Karmawibangga di kaki bukit Sambarabudara atau kamu lebih mengenalnya sebagai Candi Borobudur. Sejak kanak kanak aku tahu itu candi Budha. Sekolahku di SD Negri, persis di kaki candi. Ketika istirahat atau pulang sekolah kadang kadang aku main ke sana, melihat lihat relief, mencoba menyimak ajaran Sang Budha Gautama atau mengamati apa saja yang bisa diamati. Katika kanak kanak, aku pernah sangat tertarik untuk masuk Budha, tapi aku tak mau menjadi bagian dari orang (budaya) India. Baru setelah dewasa aku mengerti bahwa Buda dan India adalah dua hal yang berbeda. Demikian pula yang kumengerti tentang Hinduisme. Meskipun Hindu berasal dari India, tetapi Hindu bukanlah India.

Dibagian lain dalam hidupku, aku lama belajar mengaji pada Uztad Isrodji di Pegunungan Menoreh. Kemudian, bertahun tahun aku belajar hidup dari komunitas Al Hikmah, bagian tak terpisah dari dari torikoh Naqsabandiah. Waktu itu, setiap hari aku mendengar pengajian Kyai Asrori Al Ishaqi. Dari pengalaman bertahun tahun itu aku ngerti, bahwa mencintai agama tidak dengan cara memusuhi agama lain. Membenarkan agama adalah dengan perilaku, bukan dengan menyerang agama lain, apalagi mengkafirkankannya. Yang tidak kalah pentingg untuk aku simpulkan adalah bahwa mencintai agama tidak dengan cara memusuhi lingkungannya sendiri.
Tuhan memiliki proposal pribadi yang menjadi alasan mengapa beberapa agama dititahkaNya di Timur Tengah, mengapa di India, Cina, Jepang dan ditempat lain. Mempercayai sebuah keyakinan dengan cara menghormati tempat lahirnya adalah sikap yang baik, tetapi tentu tidak untuk mengkultuskannya. Dibutuhkan kecerdasan pikiran dan kelembutan hati untuk bisa memahami perbedaan antara ajaran agama dan kultur dimana agama itu dititahkanNya. (Salam pluralisme Kompasiana)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline