Lihat ke Halaman Asli

Rinjani; Sepotong Kisah Dari Surga Anarki

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

“50,07K vertical walking in 4 days requires a high level of physical fitness,
strength of spirit, and sense of adventure”

 

Suatu siang di kemarau panjang pertengahan 2004, seorang kawan menceritakan pengalaman serunya mendaki Rinjani. Dalam perjalanan dari Surabaya menuju Jogjakarta, Danang, kawan itu, tiba pada kesimpulan, ”Rinjani adalah sepotong surga di bumi.”

Baru 11 tahun kemudian, aku berkesempatan menikmati potongan surga yang diceritakan pemuda dari Kediri tersebut.

Mungkin justru karena indah dan seru itulah aku memutuskan untuk menuliskannya, jauh lebih bergairah daripada dua kali pendakian ke Semeru, serta gunung-gunung lainnya di Indonesia dan Timor Leste.

 

Day #0. Perjalanan.

Selasa, sekitar pukul 14.00 WIB, 12 Mei 2015, istri mengantarku ke Bandara Juanda, Surabaya. Sofyan Herbowo dan Fariel Rumi, anak sulungnya, sudah menunggu di sana. Kami berangkat menggunakan Citilink menuju Bandara Lombok yang baru; Praya.

Setiba di tujuan, kami sempatkan untuk berbelanja keperluan, tak jauh dari pintu keluar bandara. Seperti di Jawa, Indomart dan Alfamart bersaing tak sehat, bersebelahan rapat.

Tak jauh dari situ, kami menemukan depot yang tak seberapa besar, warung Jawa Timur. Sang suami asli Surabaya, sementara istri dan pelayan depot lainnya adalah orang-orang dari Kediri dan Blitar.

Kuah soto yang panas, teh hangat dan procold cukup jadi obat untuk melanjutkan perjalanan, meski jalan berkelok-kelok tajam ditambah flu menyerang yang membuatku beberapa kali ingin muntah.  

Sebelum pukul 21.00 waktu setempat, atau hampir tiga jam perjalanan bermobil dari depot tadi, kami tiba di penginapan yang bagus, lega, dan murah di Sembalun yang dingin pada ketinggian 1100 mdpl.  

Setelah berbalas sahut via bbm dengan istri, kuputuskan untuk mulai membaca buku “cerita tentang rakyat yang suka bertanya.”

Lewat tengah malam, rombongan kedua dari Jakarta tiba. Rianzi Gautama, Subagus Indra, dan Aris Mustafa memecah keheningan malam  dengan kehebohan mereka. Namun, itu tak berlangsung lama, lelah akibat aktivitas seharian dan perjalanan membuat kami segera tumbang satu per satu.

 

Day #1. “Jika kamu pikir itu puncaknya, kamu salah!”

 

Penginapan di kaki Rinjani ini sederhana tapi menyenangkan, cozy and homy, letaknya juga ideal untuk melihat seluruh tubuh kekar Rinjani. 

Dengan mobil bak terbuka yang menjemput tepat di depan kamar, kami berangkat menuju Bawak Nau, desa pintu masuk pendakian yang berjarak hanya 15 menit dari penginapan. Kami mengecek lagi perlengkapan, termasuk distribusi beban dan minuman, juga melaburi kulit dengan sun block lotion dan berdoa bersama, sebelum memulai pendakian.

Langkah pertama kami ayunkan pada pukul 08.57 WITA, menyusuri lahan pertanian penduduk, belok kiri, beberapa menit kemudian turun ke sungai kecil yang kering. Kembali naik ke lembah satunya untuk menyusuri padang rerumputan diiringi sengatan panas mentari.

Rinjani memang gunung pantai, udaranya dingin, namun terik matahari membakar. Aku berjalan mendahului kelima rekan.

Untung saja, setelah lebih dari setengah jam menyusuri kebun dan padang, jalanan kembali turun ke sungai, kali ini agak besar dan agak dalam meski tetap kering. Sungai ini cukup terlindung dari sinar matahari. Aku sempatkan untuk melepas beban di pundak dan meneguk air secukupnya, begitu juga tiga orang porter di sisi kiri.

Setelah itu yang harus dihadapai adalah tanjakan yang cukup tinggi untuk naik ke lembah berikutnya. Menanjak dan berjalan dalam terik cukup menguras tenaga.

Di depan pintuk masuk hutan, sejumlah pendaki berhenti untuk makan siang. Sudah tak tampak lagi kotoran hewan besar di sini. Aku memutuskan untuk masuk hutan sendiri tanpa menunggu semua rekan.

Sendirian di dalam hutan di siang hari ternyata menyenangkan. Di ujung hutan, aku menunggu kawan-kawan.

Dari ujung hutan, seorang kawan menunjuk puncak bukit dalam pandangan mata kami seraya berkata, ”Pos 1, ada di balik bukit itu.”

Setiba kami di puncak bukit yang dimaksud, ternyata ada puncak bukit berikutnya. Seperti sebelumnya, kami tiba pada keyakinan bahwa Pos 1 ada di balik puncak bukit yang kami lihat. Namun, di balik puncak bukit, selalu ada puncak bukit yang lain. Ini terjadi beberapa kali hingga kami benar-benar tiba di Pos 1.

Di Pos 1, diputuskan untuk menambah seorang porter lagi, dari yang semula tiga orang. Ia menyusul dari Sembalun.

Para pencari sinyal segera sibuk dengan gadget mereka, aku juga. Kepada istri aku bilang, puncak yang kami bisa lihat, itu bukan benar-benar puncaknya. Itu pasti yang dimaksud dalam sejumlah tulisan sebagai puncak-puncak semu.

Dalam perjalanan dari Pos 1 hingga Pos 3, kami mulai terbiasa dengan dengan puncak PHP ini. Memberi harapan palsu seolah-olah itulah puncaknya.

Beberapa kali nampak Nimbustratus, awan rendah berwarna abu-abu gelap itu menggelantung di ujung bukit, sejajar dengan kami.

Di Pos 3, kami beristirahat hampir dua jam untuk sholat, masak, dan makan siang. Pos ini berbeda dari dua pos sebelumnya, selain ada dua bilik toilet, pos ini berdiri di tepi aliran sungai, yang lagi-lagi tak berair. Kami merebahkan diri di atas aliran sungai yang dipenuhi pasir dingin ini.

Sejumlah orang menggali pasir, tak lama keluarlah air, untuk mereka sholat. Mata air buatan lain digunakan untuk memasak dan mengisi botol minum, dan di ujung sana, di tepi jurang, seekor anjing minum dari mata airnya sendiri.

Selain kotoran anjing, di tepi jurang ini, tampak pula tumpukan kotoran manusia. Ujung sungai ini adalah batu cadas yang siap menumpahkan segala ke bawahnya, jika berair, pastilah ia jadi air terjun yang indah.

Sungai pasir ini juga memisahkan Pos 3 dengan awal pendakian dari 7 Bukit Penyesalan dan 9 Bukit Penderitaan. Porter kami tak cukup mengenal nama dan jumlah bukit-bukit ini, sayang. Untuk pertama kalinya mereka meyakinkanku agar tak meneruskan perjalanan ke Senaru.

Jalur Bukit Penyesalan kini telah ditutup, sehingga kami harus melewati 9 Bukit Penderitaan. Banyak yang bermalam di sini, seperti dalam banyak cerita yang kubaca, Pos 3 adalah tempat pertama menggelar tenda.

Tidak untuk kami yang bertekad lanjutkan perjalanan. Berbekal makan siang dan dua butir vitamin[1], kami siap untuk mengalami penderitaan.

Sejak di kakinya, jalanan terjal berbatu menjadi menu utama. Tingkat kemiringan yang cukup curam membuat jantung bekerja ekstra. Kabut tebal menghembuskan udara dingin[2], tapi keringat bercucuran deras.

Kondisi medan yang menyiksa ini selalu menggodaku untuk berpikir bahwa apa yang kulihat adalah puncaknya. Kadang aku percaya, meski selalu salah dan kecewa.

Semangat untuk sampai ke puncak membuat otot kaki tetap melangkah, otot jantung memompa darah dan oksigen lebih hebat. Meski nafas tersengal dan puncak yang entah di mana, namun takkan membuat kita berputus asa, semata karena keindahannya.

Dari ketinggian ini -sekarang sudah pukul 16.47 WITA- kami sudah di atas awan. Hei, kami di atas awan! Hamparan surga nyata di sini, indah. Indah sekali.

Tentu saja kami berhenti untuk menikmatinya, sesekali berfoto ria. Di depan, hamparan  awan putih bersinar terang[3], di sisi kiri lereng bukit menjulang, di kanan kami nampak puncak Rinjani ditopang kokoh tebing dan curamnya jurang.  

Dari sini, kami dapat melihat puncak bukit yang harus kami daki ini berbelok menanjak ke kanan. Berharap itulah puncak terakhir.

Segera kami melanjutkan perjalanan, sebentar lagi gelap.

Perjalanan makin terasa menyiksa, memeras tenaga yang tersisa.

Sampai di puncak bukit, kami berbelok mengikuti tanjakan ke kanan. Tanjakan ini dipenuhi dengan akar pepohonan sebagai tempat pijakan. Ujung tanjakan, ada sedikit ruang terbuka yang datar, kini kami harus belok ke kiri lagi, menghadap punggung bukit kembali.

Sambil beristirahat, nampak di kejauhan orang-orang mengais sisa kekuatan untuk sampai di Plawangan. Itulah akhir dari Bukit Penderitaan.  

Gelap menyelimuti seiring angin dingin yang menghampiri. Tanah basah berkerikil membuat beberapa pendaki tergelincir.

Aku, Bagus, dan seorang porter senior (H), tiba sebagai kloter terakhir di tenda yang sudah dibuka oleh kawan-kawan yang sampai lebih dulu. 19.52 WITA. Hampir sebelas jam kami melakukan pendakian panjang di hari pertama.

Kini, kami jauh di atas awan. Mendekati ribuan bintang di hamparan langit yang hitam.

Tak ada angin malam ini, meski dingin, kami masih bisa menikmati makan malam kami dengan nikmat. Tantangan terberat di ketinggian adalah gelap dan angin kencang yang membekukan. Bagi para porter, tantangan berat adalah perjalanan ke Senaru. “Longsor udah dua hari ini,” kata H.

 

Day #2. Bukit Penyiksaan siap menanti.

Mengamati segala sesuatu dan memulihkan diri adalah agenda kami sepanjang hari ini. Salah satu cara terbaik memulihkan keadaan adalah dengan menikmati secuil surga yang terhampar di sekeliling kami dan mengabadikannya.

Sejak pagi orang beraktivitas dengan makanan, tenda, peralatan, bercanda hingga menghidupkan alunan musik, seolah hendak mengalahkan deru angin yang menerpa. Ditambah hilir mudik orang datang dari bawah dan turun dari puncak, dari segala usia, segala bangsa.

Tenda kami terpapar matahari, panas di dalam, deru angin di luar. Kami melanjutkan bacaan kami masing-masing. Aku sendiri memilih untuk sembunyi di bawah rindangnya beberapa pohon tua ini, sambil terus mengenakan pakaian hangat.

“Aku harus segera sembuh dari flu ini,” pikirku.

Sepanjang siang kabut menutup seluruh area, jarak pandang kami jadi sangat terbatas, tak ada lagi pemandangan yang bisa kami lihat. Di luar tenda suasana cukup sepi, aku pun bergegas masuk setelah gemercik Virga[4]beberapa kali menabrak tenda.

Situasi ini terjadi cukup lama, hingga senja menyapa.

Cuaca kembali cerah, warna-warni merona di segala arah, angin bertiup kencang menghantar dingin di sore yang merah. Kami berjalan di sekeliling sambil mengabadikannya. Indah.

Setelah makan malam, kami memutuskan untuk beristirahat, memulihkan tenaga kembali, sebelum summit attack dini hari nanti. Porter masih berbicara tentang Senaru yang tak bisa dilewati.

 

Day #3. Menaklukan diri sendiri.

Tepat pukul satu dini hari kami dibangunkan oleh para porter, mereka telah menyiapkan bubur dan minuman panas. Sesekali, angin kencang yang kami takutkan masih juga datang.

Seorang porter mengawal kami ke puncak, tiga orang lainnya menjaga tiga tenda yang akan kami tinggalkan di sini. Kejadian kehilangan beberapa kali terjadi. Monyet hutan siap mengambil makanan yang ditinggalkan, sedangkan pencuri siap menjarah barang-barang berharga di tenda-tenda.

01.30 WITA, dalam gelap kami melangkah.

Setelah naik turun bukit, sampai juga kami di depan Bukit Penyiksaan, di atas sudah ada beberapa rombongan pendaki.

Kami mendaki perlahan tapi pasti, melewati beberapa rombongan di depan kami. Walau tak seberat jalur puncak ke Mahameru, bukit ini memang cukup menyiksa.

Fariel yang baru berusia 13 tahun itu mulai dipasangi tali, ditarik oleh Rianzi.

Sesampainya di puncak Bukit Penyiksaan, kami beristirahat meski tak lama. Hampir pukul tiga. “Ini adalah batas psikologi, kalau sudah sampai di sini, orang pasti akan sampai ke puncak,” kata Aris menyemangati kami semua.

Sebelum melanjutkan, H, satu-satunya porter yang ikut bersama kami ke puncak mengingatkan agar kami lebih condong berjalan di sisi kiri.

Jalan setapak yang sempit ini memang berada di antara dua jurang tinggi. Dua-duanya curam, hanya saja, jika jatuh ke kanan, kita akan sulit ditemukan.

Hari masih gelap, belum genap pukul lima waktu setempat, ketika Fariel jatuh semangat, menangis untuk pertama kali. Semua orang memberinya dorongan semangat. Sambil mengembalikan irama nafas, aku mengacungkan jempol, tanda bahwa ia hebat.  

Matahari berkeriap merah nun jauh di sana, saat kami sudah sampai di jalan bebatuan. Di kelokan berbentuk huruf E ini, medan terasa jauh lebih berat dari sebelumnya.

Kemiringannya tak securam ke Mahameru, pun bebatuannya lebih besar dari pasir kerikil Semeru, tapi tiap langkah naik, bisa juga berarti langkah turun. Dalam beberapa artikel, ternyata inilah batas psikologis yang sebenarnya. Banyak orang yang berhenti dan menyerah di garis ini.

Aku mencoba mengambil foto menyingsingnya fajar di kemiringan ini. Kedua sarung tangan aku lepas, kuraih kamera di dalam tas, seketika itu kedua telapak tanganku terasa kaku dan berat. Kamera terasa sedingin balok es. Segera kuhangatkan tangan di dalam saku jaket. Lalu dengan cepat kuambil kamera, atur posisi dan setting-annya.Tangan kembali masuk saku jaket, begitu seterusnya, hingga kamera beberapa kali menangkap lanskap dalam memorinya.

Perempuan di depanku berjalan tertatih, lalu berhenti. Sama seperti dia, aku berhenti di sisi kiri, kulihat kawan-kawan di bawah merangkak naik, mempersempit jarak. Di tengah, orang-orang lanjut melangkah, sementara sisi kanan lebih banyak digunakan oleh mereka yang turun dari puncak.

Dari depan, seorang pemuda kulit putih yang turun enggan menyeberang ke sisi kanan, ia malah memilih untuk keluar dari jalur di sisi kiri, sontak ia tergelincir bersama sekian banyak batu. Kulihat secepat kilat ia berjuang dengan kedua tangan dan kaki kembali masuk ke jalur, lalu berhenti tepat di depan kawan-kawan. Ah, dia selamat.

“Mukanya itu bro, kaya baru kehilangan nyawa,”  tawa Sofyan berjam-jam kemudian.

Sudah cukup terang, jarak pun sudah sangat dekat sampai ke puncak. Kembali Fariel terisak. Kulihat rautnya berputus asa. Beberapa orang yang lewat menanyakan usia, sambil memuji tekadnya. Mungkin itu juga yang menjadi penyemangat bocah SMP ini. Hampir pukul delapan pagi, ketika aku dan Fariel menginjakkan kaki di Puncak Rinjani[5].  

 

‘Pengemis Air’

Karena puncak yang sempit, kami tak bisa berlama-lama menikmatinya. Kami putuskan untuk segera turun. Sebelumnya kami berbagi minum dari persediaan yang sudah tinggal sedikit. H tanpa berkoordinasi sebelumnya, memutuskan untuk tak mengiringi langkah kami sampai ke puncak. Padahal, ia membawa bekal air yang cukup untuk kami semua.

Semua bergegas turun kecuali aku yang masih sibuk dengan kamera. Matahari belum terlalu tinggi, tapi sengatnya membuatku dehidrasi. Tenggorokan tercekat, badan terasa ringan, mendadak pusing, pandangan mata berkunang-kunang. Oksigen juga masih tipis di tempatku berdiri sekarang. Di kejauhan kawan-kawan seakan menghilang.

Dalam posisi ini, aku berdiam diri, mengumpulkan energi meski tambah dehidrasi akibat sengat panas mentari. Aku beranikan diri untuk meminta air kepada setiap mereka yang turun. Persediaan coklat dalam saku, aku makan sambil berlindung di balik batu. Tapi itu tak cukup mengobati dehidrasiku.

Aku jadi sangat sering berhenti, beristirahat di mana saja, terutama di balik batu atau bawah pohon. Sekali aku bertanya kepada rombongan pemuda berbahasa sunda, mereka berenam. Salah satu menjawab mereka sendiri tak punya air padahal kehausan, yang lain memberiku sebungkus madu sachet  yang kami bagi berempat. Berbekal itu, aku lanjutkan perjalanan yang makin terasa berat.

Aku tetapkan tak melepas jaket warna terangku, agar jika terjadi apa-apa aku mudah terlihat atau ditemukan. Baik jaket maupun rompi hanya kubuka resletingnya saja, meski itu semua membuat tubuhku semakin basah.

Beberapa kali kudapati orang yang alami cidera, bahkan dalam keadaan pingsan. Sol sepatu dan sendal bertebaran di mana-mana.

Seorang pemuda menghampiri, bertanya apakah aku baik-baik saja, serta dari mana asalku, lalu pergi lagi. Pemuda Bali itu melesat cepat sekali, sebelum sempat kutanyai.

Dalam keadaan seperti itu, aku hanya sanggup membayangkan wajah istri. Sesekali melamunkan bagaimana orang-orang yang hidup di gurun tandus, di padang pasir kering tak berujung. Diterkam panas justru ketika bekal air telah tandas.

Tiba-tiba ada suara memanggil namaku dari balik rimbun pepohonan. Aris dan Rianzi menunggu, mereka membawa air untukku. “Tuhan, terpujilah Engkau!,” gumamku.

Penderitaan di turunan Bukit Penyiksaan berakhir sudah. Kuteguk sebanyak-banyak air mineral dan susu yang mereka bawa.

Camp site kini sudah di depan mata. 

Dalam perjalanan mereka bercerita betapa banyak pendaki turun yang kehausan, mereka yang berlimpah air lantas membagikannya untuk para pendaki tersebut. “Sepertinya, mereka hanya membawa air untuk ke puncak, tidak cukup untuk kebutuhan mereka saat turun,” papar Rianzi.

Matahari tepat di atas kepala ketika kami tiba di tenda.

Nanas yang ditaburi garam, buah vita dan susu putih adalah hidangan luar biasa. Setelah makan siang, kami berkemas, lanjutkan perjalanan turun ke Danau Segara Anak. Kami berpindah lokasi kemah.

 

Dingin yang menusuk.

Perjalanan turun ke Segara Anak kami tempuh dalam waktu 2,5 jam. Beda ketinggian Plawangan dan Segara Anak sebenarnya hanya 600 meter saja, tapi medannya cukup terjal, curam dan menyiksa. Bagi mereka yang hendak naik ke Plawangan dari Segara Anak harus beberapa kali melompat atau memanjat bebatuan, benar-benar karena tak ada jalan.

Pendaki lokal dan mancanegara yang kami temui mengeluh, selain karena medan berat, juga karena ketidakakurasian informasi tentang jarak tempuh. Informasi yang kami dapatkan sejak dari Sembalun selalu tak akurat. H misalnya, mengestimasi perjalanan Plawangan ke Segara Anak akan memakan waktu 40 menit hingga 1 jam. Nyatanya, rata-rata lama perjalanan adalah 3 jam.

Aku salah melompat ke gundukan berumput, ternyata gundukan itu licin, tubuhku terbanting ke kiri, lutut beradu dengan gundukan. Sejak itu lutut kiriku nyeri luar biasa. Bagi lutut, turunan adalah sebuah penderitaan, namun bagi otot jantung, tanjakan adalah penyiksaan.

Sisa perjalanan, aku ditemani oleh seorang porter yunior, yang juga berusaha meyakinkan bahwa jalur Senaru akan jauh lebih menyakitkan bagi cidera lututku.

“Kamu sudah berapa kali ke Senaru?”

“Belum pernah saya,” katanya.

“Tahu jalur Senaru berat dari mana?”

“Itu orang-orang yang cerita dah.”

Sejam sebelumnya beberapa pendaki yang berangkat dari jalur Senaru bilang bahwa jalur Senaru baik-baik saja, tak ada longsor atau yang semacamnya. “Enak koq rutenya, landai, tapi panjang sih,” kata seorang pendaki berjilbab.

Sama seperti di jalur ke puncak, di rute ini kami menemukan banyak sol sepatu dan sendal gunung yang lepas, kalah oleh kuatnya batuan cadas.

Jalur tanah rata adalah bonus, meski panjangnya tak lebih dari 23 meter. “Bonus!” seringkali kami teriakkan untuk menyemangati kawan-kawan di belakang.

Danau ini indah, dari jauh maupun dari dekat. Banyak aktivitas di sini, dari yang memancing, berenang, hingga menyiapkan makan malam.

Tenda sudah dibuka oleh porter yang mendahului kami. Kini, mereka bergegas untuk menyiapkan minuman hangat dan ikan bakar. Kami makan lebih sore dari biasanya. Maklum, di luar dingin menyerang tak kenal ampun, tenda kami basah kuyup oleh embun.

Aku memilih untuk makan dalam tenda. Para porter memakai sepatu kami agar terhindar dari dingin, meski mereka sudah berdesakan dalam tenda mereka.

Tak banyak aktivitas sejak sore, selain makan malam tadi. Aku yang berencana mandi atau sekadar basuh muka, tangan, dan kaki juga undur diri dari tepi. Rapat untuk memutuskan terus ke Senaru atau kembali ke Sembalun pun tak jadi. Berdiam dalam tenda adalah keputusan berarti.

 

Day #4. Ketika mata air dingin dan panas bertemu.

Udara dingin menyapa lembut indahnya pagi di tepi danau ini. Hanya puncak-puncak tinggi yang terpapar sinar mentari. Danau seolah mata bening berwarna biru, membuat pohon-pohon tampak malu dalam kelabu. Sungguh Sabtu yang syahdu.

Banyak orang yang bergegas menuju celah dari dua lembah, tak jauh dari tenda kami. Mereka membawa tas punggung atau sekadar handuk dan peralatan mandi. Kami juga berbegas. Kecuali aku dan Bagus, semua kawan memilih untuk menikmati genangan dangkal tepat di bawah mata air panas.

Aku dan Bagus turun ke aliran yang lebih dalam dan lebih deras, di sana air dingin dan air panas bertemu, hangat. Kami berdua berlama-lama menikmati kolam alami ini.

Ketika kami kembali ke tenda, kawan-kawan sedang sarapan, sebagian lagi berkemas. Tak lama, kami semua siap untuk kembali pulang. Telah diputuskan untuk kembali ke Sembalun, mungkin juga atas desakan para porter sejak hari pertama.

10.22 WITA, dari Segara Anak kami kembali ke Plawangan. Perjalanan 3,5 jam ini cukup melelahkan, terutama karena tanjakan-tanjakannya, dan beberapa kali harus beraksi panjat batu di lereng tebing curam. Perjalanan yang kami perkirakan lebih lama ternyata meleset. Mungkin karena hari itu tak terlalu panas, matahari tak mampu menembus kabut tebal, juga karena mandi membuat kami terasa jauh lebih segar dari hari-hari sebelumnya.

Sampai di Plawangan hanya tersisa sedikit tenda, kebanyakan yang baru dibuka. Dalam kondisi seperti ini, sampah makin tampak bertebaran di mana-mana. Tak ubahnya dengan pendaki amatiran, porter kami juga membuang sampah begitu saja. Gunung indah ini kotor sejak di Pos 2.

Beda dengan porter Semeru[6] yang benar-benar merawat hutan dan gunung yang mereka anggap sebagai rumah dan halamannya. Dus, tak pernah kami jumpai pendaki yang membawa sampah mereka.

Tak lama kami beristirahat di Plawangan. Kini turunan terjal Bukit Penderitaan di depan mata. Aku turun tertatih dengan sabar dan perlahan, sakit di lutut kiri terasa menyiksa. Beberapa kali terpeleset, dua kali di antaranya akibatkan ibu jari kaki kiri menghitam. Darah mati di dalam, begitu banyak orang bilang.

Jari-jari kaki sakit, beberapa memang terlihat melepuh dan lecet. Aku bertahan dengan kondisi ini hingga Pos 3. Kami beristirahat untuk sholat, masak dan makan, persis seperti saat kami tiba di hari pertama. Setelah makan aku menyemprot bagian kaki yang bermasalah dengan semprotan anestesi[7], terutama di lutut kiri.

 

Kami mulai berkemas dan menyiapkan head lamp, tak lama lagi pasti gelap. Aku dan Rianzi berjalan lebih dulu, diikuti oleh Bagus. Sementara di belakang, para porter masih berkemas. Rupanya semprotan anestesi ini benar-benar mematikan rasa sakit. Aku bisa melompat dari batu ke batu dengan sempurna.

Aku terus berjalan cepat hingga Pos 2, istirahat tak lama, lanjut lagi ke Pos 1. Di tengah perjalanan, aku terpisah dari kawan-kawan, aku berjalan lebih dulu, jauh di depan. Rasa nyeri di lutut datang lagi, meski tak seheboh biasanya. Aku menunggu kawan-kawan di Pos 1.

Lebih dari 10 menit mereka tak kunjung tiba, sementara nyeri ini makin menjadi-jadi ketika angin dingin datang menghampiri. Akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan sendiri. Beberapa grup pendaki yang hendak turun memilih untuk tetap beristirahat di sini.

Sendiri dalam gelapnya perbukitan luas yang tak berujung ini tak mematahkan semangat untuk berhenti. Aku tetap berjalan hingga pintu masuk ke hutan.

Sendirian dalam gelapnya hutan.

Di tepi hutan, sambil menunggu kawan-kawan dan mengistirahatkan nyerinya lutut kiri, aku lihat pendar sinar dari dalam hutan.

Mereka adalah pendaki yang baru saja memulai perjalanan. Segera aku masuk hutan, tanpa menunggu kawan-kawan. Tak jauh dari rombongan tadi ada rombongan pendaki lagi, aku makin berani untuk masuk ke dalam hutan meski sendirian. Setelah itu aku bertemu seorang pendaki, sendirian terengah-engah sambil mengibaskan topi “BigReds”nya.

Sampai di tengah hutan, aku yang sendirian sempat ragu ketika dua kali menemukan jalan bercabang. Sebelumnya, memang jalan tak seberapa kelihatan, tertutup rimbun daun yang sudah berguguran. Namun, diam di dalam hutan jelas bukan pilihan.

Aku berhasil menemukan jalan setelah melihat jejak sampah plastik. Aku ikuti sampah plastik selama di dalam hutan, termasuk ketika menemukan jalan bercabang. Suara-suara aneh sempat berkumandang[8].

Keluar hutan! Kembali ke luasnya padang.

Aku sempat menyerah di tepi sungai kering yang dalam nan curam. Beberapa pendaki bule dan lokal melewatiku hendak turun. Segera aku bangkit, bersama-sama dengan mereka aku terus melangkah, jauh, jauh di muka, mendahului semua, dengan sakit di lutut yang sangat menyiksa.

Mereka ternyata tak tahu jalan dan beberapa kali meragu, sementara aku masih mengingat semua jalur itu. Kali ini jalan setapak dan kotoran hewan jadi penunjuk jalan, meski sesekali sampah plastik nampak berserakan.

Sampai di perkebunan penduduk, aku lihat di depan seorang pendaki perempuan dipapah oleh seorang lelaki, pastilah ia cidera.

Jarak sudah sangat dekat, sinar lampu rumah penduduk menyebar menerangi malam. Kurang dari setengah jam, aku di tiba di ujung jalan. 7.11 malam sekarang.

 

Menuju Mataram.

Jemputan akhirnya datang juga, setelah lebih dari setengah jam kami menunggunya. Kami yang mulai merasakan dingin kini merasa hangat dalam kendaraan yang cukup lega ini. APV memang transportasi favorit bagi para penyedia jasa transportasi di sini.

Tengah malam kami tiba di kota Mataram, menuju kaki lima di depan sentra pasar buah Cakranegara. Rasanya sudah lama kami tak bersua makanan enak, hampir semua orang menambah makanan dan minumannya.

Pukul 02.00 WITA, Minggu dini hari, kami masuk penginapan di Jalan Beo. Kamar kami di lantai dua, rasanya berat untuk menaikinya. Kaki kami sudah sangat lelah, beberapa orang, termasuk aku harus berjalan terpincang-pincang.

Bongkar pasang isi tas, mandi air panas. Itu yang kami lakukan.

Rianzi dan Bagus harus bersiap lagi pada pukul empat pagi, penerbangan pertama menuju Jakarta. Rianzi memanfaatkan waktu yang sangat sedikit untuk beristirahat, Bagus memilih untuk tetap terjaga.

Hampir setengah lima, dengan taxi mereka menuju bandara.

 

Balik ke Jawa.

Kami, rombongan berikutnya, masih sempat menikmati pagi, sarapan di Rumah Makan Em Ayam Taliwang, pergi ke Pantai Kuta dan Kampung Adat Sasak, sebelum menuju Bandara yang jaraknya hanya sekitar 15 menit dari Pantai Kuta ini.

Ayam Taliwang adalah makanan khas Kampung Taliwang di Mataram, ayam kampung jantan muda yang disajikan, diolah dengan banyak pilihan; madu, bakar, goreng, juga pedas. “Daging ayam jantan muda lebih manis,” kata pengelola Rumah Makan. Es Kelapa Madu juga jadi khas di kota ini.  

Rumput laut dalam berbagai olahan disajikan sebagai oleh-oleh di bandara. Aku sendiri membeli Telur Asin Bebek Bingung, Rp.150 ribu per 30 butir, masih dengan pasir hitam dalam kotak rajut tradisional.

Sambil menunggu pesawat kusampaikan pada Fariel bahwa dia cukup hebat di atas sana. “Mas Fariel harus tahu bahwa menaklukan gunung adalah menaklukan diri kita sendiri, dan Mas Fariel berhasil melakukannya” kataku mengutip kalimat yang biasa dkatakan oleh para pendaki.

Di dalam pesawat aku duduk di jendela sebelah kanan. Rasanya, pesawat melewati puncak Rinjani dalam kecepatan yang sangat lambat di sisi ini. Aku menatap setiap bukit dan lerengnya, puncak dan setiap gelombang awan di kakinya.

Gunung ini menyimpan romansa tersendiri dalam memori, meski rusak oleh kondisi anarki.

Potongan surga yang sungguh menawan hati. Sayang, sampah bertebaran di sepanjang jalan, seolah tak satupun enggan merawat keindahan.

Sambil menatapnya lamat dari dalam pesawat, dalam hati, aku mulai menyusun kalimat. “Gunung yang berdiri kokoh di situ memang tak terkalahkan, tapi ia menyediakan sarana bagi kita untuk memunculkan motivasi agar diri berjuang mengubur kemalasan, melampaui batas kekuatan, mematahkan pesimisme yang mendengungkan ketaksanggupan.”

“Merambah ketinggian adalah mengenali kekuatan, menaklukan dingin di puncak tinggi berarti menaklukan diri sendiri,menjejak kaki di puncak artinya mendesak keluar semua potensi yang selama ini tak tergali.”

Dari balik kaca ini, matahari mulai tenggelam. Dan lantunan Sunset di Tanah Anarki kembali terngiang.

                                                                                                           

J. Rohi

Surabaya, 27 Mei 2015

 

[1] Neurobion dan Ester C.

[2] Setiap 100 meter ketinggian, suhu udara turun antara 0,5-0,6 derajat Celcius.

[3] Stratokumulus (Sc) jenis awan rendah, bentuknya bola-bola bergelombang.

[4] Awan adalah kristal es atau titik-titik air. Virga adalah hujan (jatuhnya kristal es atau titik air) yang tak sampai ke permukaan bumi, karena kembali menguap ketika bergesekan dengan udara panas.

[5] Rinjani adalah gunung vulkanik tertinggi kedua di Indonesia, gunung aktif ini memiliki ketinggian 3.726 mdpl.

[6] Porter Semeru yang tarifnya sama dengan porter Rinjani memang tak turut membuat masakan untuk kami, tapi setidaknya mereka tampak jauh lebih kooperatif menjauhkan kami dari insiden atau informasi tak berdasar, apalagi mendesak kami menuruti kemauan mereka.

[7] YB Aerosol

[8] Mungkin suara-suara itu yang disebut sebagai dengungan bumi, The Earth’s Hum.

 

 

*Ditulis ulang dari notes facebook sendiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline