Istilah oligarki belakangan ini cukup familiar lantaran sering muncul di media massa; TV, koran digital, hingga media sosial. Akan tetapi, pemahaman tentang oligarki dan ragamnya masih menjadi tanda tanya besar dari perhatian publik.
Kebanyakan dari masyarakat hanya sekedar mengenal oligarki sebagai bentuk pemerintahan yang memiliki atensi berbahaya saja. Bahkan sebagaian masyarakat justru tidak memahami secara pasti sifat "berbahaya" seperti apa yang ditimbulkan dari kekuasaan oligarki.
Dalam kebiasaan situasi politik kita misalnya, oligarki secara besar-besaran memberikan dana kampanye kepada partai politik untuk mengambil hati rakyat dalam pemilihan suara nantinya. Sayangnya, kebiasaan masyarakat kita saat ini bukan lagi fokus pada perhatian politisasinya, tetapi justru merasa senang karena ada sokongan dana sementara yang menutupi kebutuhannya secara cuma-cuma.
Kebanyakan dari sikap masyarakat kita cenderung tidak mempermasalahkan perkembangan oligarki selama kebutuhan dirinya terpenuhi. Bahkan bagi segelintir orang yang memahami kekuasaan oligarki malah menjadi ladang keuntungan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Wajar bila bibit-bibit oligarki tumbuh dengan subur.
Bagi negara demokrasi, kehadiran oligarki tak bisa dipungkiri lagi keberadaannya. Oligarki selalu muncul dan menjadi pion nomor satu dalam mengambil alih kekuasaan. Maka pertanyaan yang mengusik adalah bagaimana institusi demokrasi seperti partai bisa terjebak dalam lingkaran oligarki?
Keterjebakan tersebut tentu saja disebabkan oleh beberapa hal, seperti Ketua Umum sebagai figur utama atau elit partai yang menjadi penentu, aspek historis ataupun ideologis, ketergantungan terhadap finansial partai pada sumber-sumber keuangan milik figur tersebut dan lainnya.
Guritan oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregatior demokratisasi. Partai politik lebih suka menggelar karpet merah kepada pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah ketimbang memberikan wawasan politik kepada masyarakat.
Sebagai subyek demokrasi, seharusnya masyarakat dituntut mendapatkan pendidikan politi dan memiliki pengetahuan politik. Tanpa pengetahuan politik, demokrasi hanya akan berjalan secara prosedural dan lupa esensinya.
Namun, kenyatannyanya pendidikan politik yang disajikan di masyarakat hari ini telah diringkas dalam materi-materi kampanye yang gegap gempita, gaduh oleh berita bohong, menjatuhkan lawan dengan fitnah dan hoax yang sama sekali tidak mencerahkan, dan yang paling parah adalah ketika partai politik menganggap konstituen masyarakat sebagai obyek politik semata lima tahunan, yaitu mendekati rakyat lantaran membutuhkan suara rakyat dalam pemilu.
Demokrasi bukan lagi warna dari dunia perpolitikan kita, semuanya telah terganti dan dapat dimanifestasikan ke dalam bentuk kekuatan lain, uang misalnya sebagai alat yang mempermudah membeli kapabilitas kekuasaan.
Kondisi tersebut sangat menghawatirkan dan sudah seharusnya ada upaya untuk mencegahnya. Karena, kuatnya aroma-aroma "rekonsiliasi elitis" memiliki potensi untuk tergelincir dalam pusaran elitism yang membahayakan. Tentu saja ini akan berpengaruh kepada pembentukan kebijakan yang disusun.