Aku baru selesai membaca buku hasil karya neurolis berkebangsaan Mesir bernama Nawal El Saadawi tentang seorang wanita yang ia sengaja temui dan berbincang panjang dari balik selnya. Butuh sekitar 20 jam bagiku untuk menghabiskan buku dengan total jumlah halaman 175 itu. Satu yang aku pahami ketika selesai membaca dan ketika aku bangkit dari selimut dan kasurku, kulempar buku itu kemudian ke lantai sampai terdengar bunyi debum kecil yang dihasilkan karpet lantai kamarku.
Hari itu Minggu tanggal 18 November dan masih cukup pagi untuk memulai hari tanpa sarapan dan kopi, tapi buku itu sudah kuselesaikan. Begitu merinding dan merasa diawasi setelahnya. Aku masih berkutat dan belum bisa keluar dari ruang kata yang ditulis oleh El Saadawi dan dicipta oleh sosok wanita bernama Firdaus.
Kukatakan saat ini itu adalah buku pertama yang kubaca dari sekian usiaku yang sekarang 16 dan membuatku bergetar dari hati ke tulang oleh karena kalimatnya yang begitu nyata dan sulit dihasilkan apabila hal itu adalah terkaan alias fiktif. Buku itu nyata dan merupakan pengalaman Firdaus selama ia hidup, dan sejak 1974 ia telah mengakhiri seluruh perjuangan hidupnya ditutup oleh hukuman gantung bagi dirinya.
Sejak aku pertama kali membuka buku itu dan membaca Kata Penganar yang ditulis oleh Mochtar Lubis---sampai ketika aku selesai pada buku itu, aku belum pernah mengenalnya, Si Mocthar Lubis itu---dan menyesapi bahasa yang ia pakai untuk menyambut buku itu di halaman-halaman awalnya.
"Buku yang Keras dan Pedas" ia menulisnya demikian. Sebuah buku tidak mungkin kerasa semacam batu yang kau kepal atau pedas seperti lada halus yang ditabur di dalam matamu atau apapun itu yang bisa kuperkirakan sebelum aku memulai buku tersebut dan mencapai di Bab 2.
Oke, saat itu aku memulainya. Di hari Sabtu yang dingin dan sepoi-sepoi, aku tidak turun dari kamarku kecuali untuk mandi dan buang air kecil. Tugasku saat itu adalah menyelesaikan "Women at Point Zero" untuk tahu apa yang Mochtar Lubis katakana sebagai "Buku yang Keras dan Pedas" dan juga untuk mengusir perasaan sedih yang sedang aku kandung.
Aku bisa merasakan begitu baiknya perkataan yang El Saadawi tuliskan secara jujur dan cermat tanpa memusingkan apakah kalimat itu akan cocok untuk dibaca orang-orang? Oh, kupikir El Saadawi tidaklah begitu peduli. Ia menulis sesuatu yang sekarang aku akan ingat selalu berkat kejujuran yang begitu terasa nikmat ketika aku membacanya.
"Saya berdiri terpaku seperti berubah menjadi batu. Sipir meninggalkan saya untuk melakukan tugasnya. Saya berusaha untuk bergerak, untuk pergi ke mobil saya dab berangkat, tetapi gagal. Suatu perasaan aneh yang memberat menekan hati dan tubuh saya, menghilangkan tenaga di kaki saya. Sebuah perasaan yang lebih bera dari bobot bumi, alih-alih berdiri di atas permukaannya., saya terhimpit di bawahnya. Juga langit telah mengalami perubahan; warnanya telah berubah menjadi hitam, seperti warna bumi, dan menekan saya ke bawah dengan berat yang bertambah.
Perasaan ini pernah saya ketahui sebelum peristiwa ini, beberapa tahun yang telah lampau. Saat itu saya jatuh cinta kepada seorang pria yang tidak membalas cinta saya. Saya merasa ditolak, bukan saja oleh dia, bukan saja oleh satu orang di antara sekian juta yang menghuni dunia yang padat ini, tetapi oleh setiap mahluk ataubenda yang ada di bumi ini, oleh dunia yang luas itu sendiri."
Begitu El Saadawi menulis pada halaman 7 di mana saya mulai jatuh cinta pada indahnya kejujuran dalam kata-katanya, dan begitu dalam saya bisa menghubungkan kata-katanya dengan posisi yang pernah saya rasakan, kendati ketika menulis itu El Saadawi tentu lebih berumur dari saya yang hanya 16 tahun.
"Saya mulai melangkah menuju mobil saya dengan maksud untuk meninggalkan tempat itu. Perasaan-perasaan subjektif semacam yang mengekang saya tidak layak bagi seorang pakar ilmiah. Saya hampir tersenyum sendiri ketika saya membuka pintu mobil saya.