Berawal dari review banyak orang di tiktok, twitter, hingga dosen dan teman satu kelas, saya memutuskan untuk menonton series netflix yang berjudul "Gadis Kretek". Series ini bergenre romansa sekaligus sejarah dengan latar belakang tahun 90 an. Menurut saya, series ini sangat bagus walaupun biasanya saya tidak begitu tertarik dengan genre historical. Mulai dari alur cerita, akting para pemain, chemistry, dan sinematografi berhasil mengoyak hati para penonton.
Dari series ini ada beberapa hal yang bisa saya dapatkan, dimulai dari budaya patriarki yang masih melekat kuat saat itu khususnya di kehidupan Jeng Yah. Jeng Yah memiliki impian menjadi peracik saus di industri kretek. Setiap orang berhak mempunyai mimpi dan mengejar impiannya. Namun, berbeda dengan Jeng Yah yang dipandang sebelah mata oleh orang lain khususnya para lelaki. Ia memiliki kemampuan yang piawai, mempunyai tekad yang keras untuk mewujudkan impiannya, dan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik. Hanya saja kaum lelaki selalu berkata kepadanya
"Perempuan kok ngurusin kretek"
"Perempuan tau apa soal kretek"
"Perempuan kok dolanane rokok, mana ada yang mau sama tangannya bau mbako"
"Urusanmu cuma bersih-bersih rumah dan cari suami"
Tak hanya itu, ada scene yang masih membekas di ingatan saya, yakni scene dimana pengracik saus pabrik kretek ayah Jeng Yah marah karena Jeng Yah tertangkap basah masuk ke ruangan untuk meracik saus. Pengracik saus itu dengan terus terang mengatakan seorang perempuan tidak boleh masuk untuk meracik saus karena rasa dari tembakau tidak akan enak dan asam. Ia juga merasa jijik dengan racikan Jeng Yah dan mengatakan singkirkan semua itu, saya tidak ingin ada bau perempuan. Beberapa hari kemudian, ia juga menaruh dupa untuk menghilangkan bau perempuan. Saya hanya heran saja dia benar-benar sebenci itu terhadap perempuan.
Layaknya burung yang dikurung di dalam sangkar seperti itulah hal yang tepat untuk menggambarkan kondisi Jeng Yah. Begitu sulit mendapatkan apa yang ia inginkan hanya karena terhalang oleh gender. Stigma lemah dan inferior sangat melekat pada diri wanita sehingga selalu diragukan dan dianggap hanya bisa menyusahkan.
Saya bersyukur karena saat ini orang-orang sudah lebih mengerti dan menyuarakan kesetaraan gender. Hingga saat ini pasti masih bisa ditemukan budaya patriarki tetapi sudah tidak separah zaman dahulu. Tak semua wanita lemah, tak semua wanita menyusahkan, tak semua yang dikatakan dan keputusan yang diambil oleh pria itu bijak. Semua perempuan memiliki kebebasan untuk menemukan yang mereka mau dan perempuan mampu bekerja di berbagai industri.
Selain itu, dari series ini saya semakin merasa hampa dan trust issue dengan para lelaki. Sebelum menonton series ini pun saya sudah memiliki trust issue dengan yang namanya lelaki, maka dari itu hingga saat ini saya tidak menjalin hubungan seperti kebanyakan anak kuliahan pada umumnya. Saya sudah sangat percaya pada Soeraja dan selalu berprasangka baik terhadapnya. Tetapi nyatanya memang benar semua lelaki sama saja, saya kesal melihatnya karena tidak mampu tegas terhadap keadaan, dan tidak memberikan kepastian. Saya rasa memang benar lelaki tidak dapat melupakan cintanya di masa lalu, dan jika ia menjalin hubungan yang serius pun tetap saja itu hanya sekedar untuk melanjutkan kehidupan. Hanya untuk melanjutkan hidup seorang pria menikahi wanita yang tidak ia cintai bahkan sampai mempunyai 3 orang keturunan, dan masih menyimpan erat rasa dengan masa lalunya sampai mati. Benar-benar cinta hanya habis di masa lalu dan pemenangnya adalah masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H