Lihat ke Halaman Asli

Inggirwan Prasetiyo

Mahasiswa Ilmu Sejarah

Melacak Jejak Kolonialisme di Kabupaten Klaten

Diperbarui: 22 Januari 2023   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pintu Benteng Engelenburg di Kabupaten Klaten (Sumber: Tropenmuseum)

KLATEN - Pada tanggal 17 Agustus 2022 lalu, rakyat Indonesia baru saja merayakan hari kemerdekaan yang ke-77 tahun. Setelah hampir 2 tahun upacara bendera hanya dilaksanakan secara terbatas dan berbagai lomba ditiadakan, tahun ini masyarakat bisa kembali merasakan euforia kemerdekaan seperti sedia kala.

Menggelar berbagai macam lomba khas 17-an adalah bentuk perayaan kemerdekaan yang sering kita temui di lingkungan sekitar. Masyarakat akan tumpah ruah memeriahkan kegiatan tersebut dan berlomba untuk mendapatkan hadiah. Namun selain itu, kita juga dapat mengisi kemerdekaan dengan melakukan refleksi masa lalu lewat kegiatan membaca buku-buku sejarah atau napak tilas ke bangunan bersejarah yang ada di sekitar rumah.

Kebetulan saat ini saya tinggal di sebuah daerah yang berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Kabupaten Klaten. Daerah yang memiliki slogan bersinar ini menjadi penghubung Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta, sebab berada persis di antara dua wilayah pecahan bekas Kerajaan Mataram Islam. Dengan demikian, Klaten termasuk dalam wilayah yang disebut sebagai Vorstenlanden—wilayah-wilayah kerajaan.

Posisi yang strategis bagi lalu lintas perdagangan ini didukung dengan iklim tropis serta kondisi tanah yang subur, sebab berada dekat dengan gunung aktif Merapi serta memiliki puluhan mata air (umbul) sebagai sumber irigasi. Tidak heran jika pada era kolonialisme Belanda, daerah Klaten banyak ditanami dengan berbagai macam komoditas ekspor seperti: tebu, tembakau, indigo, dan rosela.

Mengutip dari Kolonial Verslag 1891, 1901, 1911 yang ada dalam buku bertajuk Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997) karya Takashi Shiraishi, menampilkan data komoditas unggulan di Klaten adalah olahan tebu dan tembakau yang memiliki jumlah produksi tertinggi di Karesidenan Surakarta.

Kementerengan sektor agraris Klaten mengundang kompeni Belanda untuk gencar membangun infrastruktur penunjang guna memacu pendapatan yang lebih besar lagi dari wilayah ini. Beberapa bangunan tersebut ada yang sudah berhenti beroperasi bahkan rata dengan tanah, namun ada pula yang bentuk dan fungsinya masih dipertahankan hingga kini. Berikut ini bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang ada di Kabupaten Klaten:

Pabrik Gula Gondang Winangun

Sejak diterapkannya sistem tanam paksa pada tahun 1830, penanaman komoditas ekspor mulai gencar dilakukan guna mengisi kas negara kolonial. Kemudian berlanjut dengan kemunculan para investor swasta yang membuka lahan perkebunan baru, ini merupakan buah dari penetapan Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang membuat usaha perkebunan semakin berkembang pesat.

Pabrik Gula Gondang Winangoen Tahun 1920 (Sumber: KITLV)

Salah satu komoditas ekspor yang banyak ditanam adalah tebu. Secara bertahap, hasilnya menyumbang pendapatan yang tinggi bagi negara kolonial bahkan berperan sebagai roda penggerak perekonomian. Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam buku yang berjudul Sejarah Perkebunan di Indonesia (1991) menyebutkan, daerah jajahan merupakan tulang punggung ekonomi dari Hindia Belanda, sehingga muncul ungkapan bahwa daerah jajahan adalah “tempat Hindia Belanda mengapung”.

Pabrik pengolahan tebu yang akan dibahas kali ini bernama Pabrik Gula Gondang Winangun. Bangunan ini terletak di Desa Plawikan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten. Didirikan pada tahun 1860 oleh Klatensche Cultuur Maatschappij dengan nama Suikerfabriek Gondang Winangoen yang berkantor di Amsterdam, Belanda. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline