Lihat ke Halaman Asli

Tombak Perceraian yang Menikam Jantung

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Empat hal untuk dicamkan dalam kehidupan: berpikir jernih tanpa bergegas bingung; mencintai setiap orang dengan tulus; bertindak dalam segala hal dengan motif termulia; dan percaya kepada Tuhan tanpa rasa ragu sedikit pun.” (Helen Keller)

Laki-laki muda itu terlihat asyik menyantap makanannya sambil sesekali tidak sungkan menceritakan kisah hidupnya. “Ortu (baca: orangtua) udah lama bercerainya. Ngga lama setelah itu, Bokap (baca: ayah) pergi dari rumah untuk tinggal dengan wanita selingkuhannya.” Mendadak pria yang berbadan tegap itu diam sejenak kemudian bercerita lagi, “Karena itu gue tinggal sama Nyokap (baca: ibu) gue sekarang walaupun gue juga pernah tinggal bareng Bokap. Pernah juga sih gue tinggal sendiri di rumah yang diwariskan dari Opa (baca: kakek) ke gue. Itu juga ngga lama tinggal di sananya, karena banyak cerita sedihnya juga. Jadinya sekarang ini gue tinggal bareng sama Nyokap dan adik gue.” Ia pun berhenti melahap makanannya. Tatapan matanya mengarah ke lantai dan terlihat kosong seakan-akan seperti sedang memikirkan sesuatu.

Hampir serupa dengan pria tersebut, seorang wanita muda turut menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam. “Aku sangat terpukul waktu Mama dan Papa bercerai waktu aku masih umur 10 tahun.” Lalu gadis muda ini menatap mataku secara mendalam dan melanjutkan ceritanya, “Aku anak tunggal..jadi selain Mama dan Papa, keluarga intinya itu uda ngga ada lagi. Waktu itu rasanya kosong banget. Aku benar-benar merasa sendirian..sepi..kesepian meski aku punya banyak teman juga. Batin rasanya mau teriak tapi rasanya berat banget, udah capek lahir batin.” Meskipun air matanya tidak berlinang membasahi kedua pipinya yang chubby, matanya – yang sebenarnya indah – perlahan memerah yang secara jelas menampakkan jendela jiwanya yang terluka kala itu. Selama beberapa saat, ia tidak mampu mengungkapkannya lagi dengan kata-kata, speechless….

*****

Curahan hati dari dua insan manusia ini hanyalah merupakan sepenggal kisah suram dari sekian banyak anak yang menjadi korban perceraian orangtua kandungnya. Pada umumnya, anak-anak yang malang tersebut cenderung mengalami dampak negatif dari perceraian. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya malah mengalami hal-hal negatif yang merugikan diri mereka sendiri serta orang lain di sekitarnya, khususnya keluarganya sendiri. Suatu hal yang lazim didengar bahwa banyak anak broken home (keluarga berantakan dimana keluarga bercerai mencakup salah satu dari kategorinya ini – red.) justru terjerumus ke dalam pergaulan bebas.

Rio (nama samaran) – yang merupakan tokoh lelaki muda berusia 25 tahun dalam cerita di atas – mengakui pernah menggunakan obat-obatan terlarang hanya beberapa bulan setelah orangtuanya bercerai. Selain itu, ia juga perokok berat serta merasa tidak asing dengan dunia seks bebas. Ia tidak mengatakannya secara gamblang, tetapi ia mengaku bahwa ia pernah melakukan hubungan seksual – di luar nikah dikarenakan statusnya yang belum pernah menikah – selama beberapa kali. Semua perbuatan maksiatnya ini dilakukannya hanya karena ia merasa membutuhkan pelampiasan atas berbagai perasaan yang berkecamuk dalam dirinya atas perceraian kedua orangtua kandungnya. Saat itu di usianya yang masih 14 tahun, terkecuali kebahagiaan, Rio merasakan amarah, kekecewaan, dan kesedihan sebagai nuansa perasaannya akibat perceraian yang pernah dikutuknya itu.

“Ketika mereka bercerai, mereka ngga pernah nanya ke gue gimana perasaan gue waktu itu. Terus terang aja, gue kecewa dan marah banget sama Bokap yang berani selingkuh dari Nyokap. Nyokap kurang sabar apa coba harus diperlakuin seperti itu?!” Sekilas, mata Rio sedikit memerah seolah-olah sedang memendam gejolak perasaannya yang ingin melonjak keluar saat itu. Setelah memejamkan mata dan menghela napasnya dalam-dalam, nada suaranya mulai merendah yang hampir terdengar agak serak dan parau. “Sebenarnya, gue merasa kehilangan sosok Bokap waktu itu. Apalagi gue bakalan ngalamin masa remaja tanpa Bokap, gue ngebayanginnya itu berat banget. Jadi boleh dibilang bahwa gue marah dan kesel juga sama Nyokap. Dari sejak itulah, gue akhirnya lari ke rokok, drugs, dan cobain nge-seks.”

Kepedihan yang dirasakan Rio akibat perceraian orangtua kandungnya memang telah membawanya ke dalam kegelapan selama hampir 6 tahun. Namun, untunglah bahwa Rio tidak harus berlama-lama menjadi “anak hilang”. Dengan aneka pengalaman serta pergumulan hidup yang telah dilaluinya selama seperempat abad masa hidupnya saat ini, Rio akhirnya kembali menuju jalan yang benar. Ia telah memutuskan hubungan dengan segala hal berbau drugs (obat-obatan terlarang) dan seks bebas. Walaupun ia masih belum mampu meninggalkan kebiasaan merokoknya, ia telah bersih dari pengaruh unsur drugs dan seks bebas selama 5 tahun lebih terakhir ini.

“Syukur banget gue bisa lepas dari jeratan setan itu. Gue sadar kalo semuanya itu dosa dan sangat menyakiti diri gue sendiri dan orang lain, termasuk keluarga gue. Gue udah menyaksikan dan ngalamin sendiri akibat dari kebodohan gue itu. Benar-benar ngga ada manfaatnya deh. Gue kapok banget,” kata Rio. Masih dengan jenis suara bas yang terkesan tegas dan meyakinkan, ia menambahkan, “Sekarang sih gue masih merokok, masih susah buat lepasin karena udah kecanduan gitu. Tapi gue udah niat banget buat ngga merokok lagi karena gue tahu merokok itu ngga ada gunanya, merusak diri gue dan buang-buang uang aja. Sekarang udah mulai ngurangin secara bertahap, targetnya nanti bulan puasa itu gue udah berhenti total. Yang penting sekarang ini gue udah bisa maafin ortu gue dan bisa terima kenyataan kalo mereka udah bercerai.”

*****

Lain lubuk, lain belalang, lain pula ikannya. Berbeda dengan Rio, Yani (nama samaran) tidak terjerumus dalam dunia pergaulan bebas. Yani adalah tokoh gadis belia berusia awal 20 tahunan yang turut tampil dalam cerita sebelumnya di atas.

Akibat perceraian dari kedua orangtua kandungnya, Yani sempat mengalami depresi dalam jangka waktu yang cukup lama. Kepribadiannya berubah dari yang semula ceria dan senang bersosialisasi menjadi seorang yang cenderung murung dan lebih sering menyendiri. Lingkungan sekitarnya menjadi sempat kebingungan melihat perubahan dirinya yang drastis tersebut. Yani pun bahkan sempat menjadi kurang bersemangat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari sehingga ia sempat merasa kehilangan jati dirinya. Namun tidak seperti Rio yang melarikan dirinya ke hal-hal yang negatif, Yani lebih tergugah untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri mengenai arti dirinya serta makna kehidupan yang dijalaninya. Yani lebih memilih untuk mengeksplorasi dirinya sendiri.

Sebelum memulai ceritanya, Yani menopang pipi kiri chubby-nya dengan tangan kirinya di atas meja putih di sebuah restaurant. Sementara tangan kanannya sibuk mengaduk-aduk jus alpukat pesanannya dengan sedotan, ia berujar, “Waktu ortu cerai, aku jadi tinggal pindah-pindah antara rumah Papa dan rumah Mama. Aku juga jadi seperti mengasihani diriku sendiri..memang aku ini korban dari perceraian mereka..tapi ternyata sikapku itu malah bikin aku jadi tambah terpuruk. Dulu, aku bahkan pernah berpikir dan ingin bunuh diri, tapi aku ngga pernah berani ngelakuinnya karena aku tahu itu salah.”

Ketika ditanyakan tentang kelanjutan kisahnya, Yani hanya tersenyum kecil dan meminum jus alpukatnya itu melalui sedotan. “Aku akhirnya dapat bangkit lagi dari semuanya itu. Waktu itu, aku terus bergumul sendirian karena ngga ada yang ngerti kondisiku sama sekali. Akhirnya karena ngga tahan lagi, aku bertekad bahwa aku ngga boleh terus seperti itu meski separah apapun kondisinya. Aku bilang ke diriku sendiri bahwa aku harus survive dan jadi orang sukses. Aku akhirnya lari ke buku-buku, aku baca buku-buku tentang motivasi diri. Aku kejar prestasiku di sekolah. Tapi ternyata itu aja ngga cukup..terkadang aku masih merasa kosong. Lalu aku berdoa juga, aku berdamai dengan semuanya, terutama dengan Tuhan. Singkat cerita, aku akhirnya menemukan jati diriku yang sebenarnya.”

Jati diri seperti apa yang kau maksudkan, Yani? “Intinya adalah aku sadar bahwa aku ini berharga, jauh lebih berharga daripada yang sebelumnya aku pikir. Bahkan kalo ada orang yang meremehkanku dan menghakimiku, termasuk karena latar belakangku itu, aku udah ngga peduli lagi. Aku udah tahu siapa diriku yang sebenarnya dan hal itu jauh lebih penting daripada cuman mengharapkan penerimaan dari orang-orang yang ngga tulus hatinya.” Orang-orang yang tidak tulus? Mendengar pertanyaanku tersebut, Yani menjelaskannya, “Pokoknya sahabat itu baru ketahuan aslinya terutama waktu kita lagi butuh mereka. A friend in need is a friend indeed. Dari peristiwa ini, aku bisa tahu mana yang benar-benar sahabat dan mana yang bukan.”

Yani melirik arlojinya dan ternyata ia sudah berbagi kisahnya selama hampir satu jam. Di arlojinya yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, jarum jamnya sudah menunjukkan pukul 12 siang. Dalam dongeng Cinderella, Cinderella harus segera pulang ke rumahnya karena segala sihirnya akan menghilang tepat pukul 12 malam. Namun, Yani bukanlah Cinderella dan saat ini juga tidak sedang menunjukkan pukul 12 malam. Oleh karena itu, “sihir” yang ada di dalam kehidupan Yani pun tidak akan memudar sebegitu mudahnya.

“Sihir” yang dimaksud di sini lebih mengarah kepada pengertian “berkat, rahmat, ataupun hikmah” sebagaimana tersirat dari ungkapan Yani berikut ini, “Hmm..dengan belajar dari pengalaman-pengalaman pahitku itu, aku jadi bisa lebih dewasa dan bersyukur sama Tuhan yang ngga pernah ninggalin aku. Setelah dipikir-pikir lagi, kalo aku ngga ngalamin ini semua, aku mungkin belum tentu bakalan seperti ini, jadi lebih memahami dan menghargai hidup. Semua yang kualami ini bikin aku jadi bisa lebih memahami dan berempati sama orang lain. Aku juga jadi ngga suka men-judge orang lain dari sisi luarnya begitu aja, apalagi kalo aku belum mengenalnya secara dekat.”

Merasa lega setelah selesai berbagi cerita pengalaman hidupnya yang pahit, akhirnya Yani menampakkan senyum termanisnya saat itu yang disertai lesung pipitnya. Kemudian secara tenang, ia menutup pertemuan di mall tersebut – yang berlokasi di Jakarta Barat – dengan melontarkan sebuah perumpaman ciptaannya sendiri, “Biar buahnya terasa pahit di lidah, tapi yang penting buah itu sehat dan bergizi buat diriku.”

*****

Perceraian dapat didefinisikan sebagai babak akhir dari pernikahan. Perceraian cenderung dianggap sebagai solusi terbaik bagi pasangan suami istri yang ingin berpisah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa perceraian biasanya selalu menyisakan persoalan-persoalan baru sebagai dampak negatifnya. Perceraian juga sebenarnya bersifat kompleks karena dapat melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perceraian itu sendiri yang notabene tidak hanya mencakup pasangan suami-istri tersebut. Dalam hal ini, perceraian lebih sering menimbulkan tekanan batin bagi pihak-pihak yang terlibat itu, termasuk anak-anak yang posisinya cenderung terjepit harus memilih antara ayahnya atau ibunya.

Dalam perceraian orangtua, anak cenderung menjadi korban utama yang paling terluka. Pada banyak kasus, anak cenderung tidak diberikan kesempatan ataupun diperbolehkan menyatakan suaranya perihal turut menyetujui keputusan orangtuanya untuk bercerai atau tidak. Jika demikian halnya, maka anak berkemungkinan besar bisa merasa lebih tertekan lagi. Anak bahkan dapat terganggu proses tumbuh kembangnya jika anak mengalami trauma akibat besarnya tekanan yang tidak mampu ditanganinya sendirian.

Dari kisah di atas, Rio dan Yani sempat mengalami hambatan dalam masa-masa perkembangannya. Rio pernah melampiaskan kekosongan jiwanya kepada hal-hal yang negatif sementara Yani pernah terpuruk dalam depresi berat selama beberapa waktu. Entah apakah kedua tokoh ini sebenarnya merupakan gambaran ekstrim akibat perceraian yang ditinjau dari sisi negatifnya ataukah justru hal tersebut memang sudah dianggap lazim untuk terjadi.

Rio terkesan sebagai citra klise dari anak broken home – atau setidaknya yang dilabelkan sebagai broken home – oleh masyarakat. Seperti kita ketahui, istilah broken home umumnya diidentikkan dengan pergaulan bebas seperti drugs, seks bebas, dan sejenisnya.

Dalam hal ini, setiap permasalahan apapun yang dialami memang tidak bisa selalu pantas menjadi alasan (rasionalisasi) atas perbuatan yang kita lakukan. Namun, pernahkah terpikirkan oleh kita bagaimana jika ternyata perbuatan tersebut tidak terelakkan? Mungkin itulah yang disebut sebagai kekhilafan, sebagaimana yang dialami Rio. Rio terjerumus ke lembah kekelaman pergaulan bebas dikarenakan ia khilaf.

Di titik khilaf inilah, maka manusia memerlukan suatu sarana yang membantu menyadarkannya dari kekhilafannya. Ia memerlukan semacam cahaya (penerang) yang menuntunnya keluar dari dalam kegelapan untuk menemukan jalan keluarnya (solusi). Khususnya bagi anak-anak korban perceraian, rasa kesepian teramat sangat dapat menggerogoti jiwa mereka hingga akhirnya mereka dapat kehilangan keseimbangan dalam hidupnya. Kehilangan atau goyahnya keseimbangan dapat menjurus kepada kekosongan yang seakan-akan mendorong (baca: memaksa) dirinya untuk menemukan sesuatu yang mampu mengisi kehampaannya itu. Hal ini merupakan suatu hal yang manusiawi sehingga terdapat kemungkinan besar bagi individu tersebut untuk melakukannya meskipun probabilitasnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor di sekelilingnya.

Sama seperti buah yang diperoleh dari bibit yang ditanamnya, maka proses menggantikan kekosongan yang dimaksud itu perlu diperhatikan secara saksama. Misalnya kita ingin memperoleh buah jeruk, maka kita perlu memastikan bahwa bibit yang kita tanam ialah bibit buah jeruk. Jika ternyata kita lalai melakukannya dengan malah menanam bibit buah mangga, maka akibatnya bisa fatal, yakni pohon yang tumbuh adalah pohon mangga yang tentunya tidak akan menghasilkan buah jeruk. Peribahasa “karena nila setitik rusak susu sebelanga” mungkin merupakan peribahasa yang paling tepat menggambarkan situasi yang dimaksud itu.

Yani tampaknya memahami gambaran peribahasa di atas itu dengan baik. Yani cenderung memfilter dirinya sendiri untuk tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas walaupun lingkungan sekitarnya berkemungkinan menggodanya untuk setidaknya mencicipi aneka “jajanan” dalam dunia laknat tersebut. Dalam hal ini, Yani seakan-akan mematahkan paradigma (stereotype) bahwa semua anak dari keluarga bercerai pasti bersifat broken home. Penggeneralisasian terhadap berbagai hal – khususnya dalam kasus sesuai topik tulisan ini – biasanya tetap tidak berlaku karena dunia ini memang cenderung mengalir atas prinsip relativisme. Absolutisme – yang biasanya dianut oleh orang-orang berpikiran sempit – cenderung menempatkan dunia hanya berat sebelah di satu sisi neracanya sehingga lebih berpotensi besar mengacaukan keseimbangan dibandingkan dengan relativisme.

Sebagaimana judul tulisan ini (“Tombak Perceraian yang Menikam Jantung”), perceraian memang cenderung melukai – seperti ujung tombak yang tajam – pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya anak-anaknya. Dalam hal ini, tombak yang dimaksud itu dapat menikam jantung (baca: melukai hati) anak-anak tersebut. Namun, anak-anak korban perceraian ini bukanlah obyek malang yang tidak mampu berdikari walaupun sistem pendukung (support system) dari lingkungan sekitarnya tetap dibutuhkan dalam kehidupan mereka.

Sistem pendukung dapat menjadi semacam “sihir” – sebagaimana maksudnya telah dijabarkan dalam suatu alinea sebelumnya di atas – yang mampu mempengaruhi mereka untuk menjadi pribadi versinya sendiri yang lebih baik (“to be the best of yourself (themselves)“). Oleh karena setiap manusia akan menemukan bentuknya sendiri, kita juga dapat turut serta menjadi bagian dari sistem pendukung bagi mereka untuk menemukan maupun menjadi versi dirinya sendiri yang lebih baik tersebut. Bukan karena ingin mengasihani ataupun memanjakan mereka, tetapi sebenarnya lebih mengarah kepada rasa kemanusiaan kita untuk tidak berdiam diri ketika sesama – khususnya anak-anak korban perceraian – sedang memerlukan uluran tangan kita.

Banyak jalan menuju ke Roma. Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk membantu anak-anak korban perceraian. Salah satu caranya ialah dengan berempati sehingga kita mampu memahami mereka secara lebih baik, misalnya kita dapat melihat mereka dari kacamata (baca: sudut pandang) mereka. Dengan begitu, pelabelan cap-cap negatif – misalnya pelabelan broken home tersebut – tidak akan serta merta melekat dalam citra diri anak-anak ini. Tujuannya ialah supaya mereka akan lebih mampu bertumbuh kembang secara optimal (tidak mengalami kesulitan berarti yang tidak perlu dialaminya – red.) di dalam lingkungan sehat yang menghargai serta mengasihinya sebagai manusia seutuhnya. Percayalah, jika bibit cinta yang ditabur, maka niscaya buahnya pun akan berupa cinta manis yang dapat dituai sebagai obat pemulih jantung (baca: hati) untuk bangkit hidup dari alam mautnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline