Penerapan sistem zonasi pada PPDB 2019 yang gebyah uyah tanpa kajian lengkap dan mendalam hanya akan dimaknai sebagai eksperimen ketimbang kebijakan. Bakal senasib dengan Kurtilas?
Sudah seminggu ini Caca anak kedua kami yang baru saja lulus SMP resah. Keceriaannya juga menghilang. Bahkan, saat saya menulis artikel ini, badan Caca sedikit demam. Hari ini puasa syawal Caca di hari kelima terpaksa dibatalkan karena ibunya khawatir demamnya semakin tinggi. Kondisi Caca yang seperti itu berbeda 180 derajat saat ia menerima hasil ujian nasional SMP beberapa waktu lalu.
Dengan menggenggam nilai UN rata-rata 9 dan selembar piagam penghargaan karena berhasil menjadi juara ketiga dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional, Caca yakin ia bisa masuk SMA negeri pilihannya. Tetapi keyakinan itu kini hilang seiring realita yang harus ia terima, sistem zonasi membuat keinginannya masuk SMA negeri pilihan padam perlahan.
Bagaimana tidak, jarak antara SMA negeri yang diincar Caca dengan rumah kami 11,7 kilometer. Menimbang hal itu, kami meminta Caca realistis agar mau mengalihkan pilihannya ke SMA yang paling dekat dengan rumah. Tetapi, nampaknya masuk SMA negeri terdekat pun tidak dijamin aman. Karena SMA negeri terdekat dengan rumah kami berjarak 4,7 kilometer.
SMA terdekat kedua berjarak 5,2 kilometer. Pada Senin (17/6), pukul 7 pagi, kami, saya dan istri, ingin membesarkan hati Caca dengan mendatangi SMA pilihannya. Kami berharap semoga masih ada harapan atau setidaknya bisa bertemu dengan pihak sekolah untuk bertanya apakah nilai UN dan prestasi yang diraih Caca bisa dijadikan pertimbangan.
Namun, harapan tinggallah harapan. Saat mendatangi SMA pilihan Caca, pemandangan di luar pagar sekolah sudah seperti antrean mustahik meminta zakat. Karena bersikap realistis kami mengalihkan niat dan mendatangi sekolah SMA negeri dekat rumah. Caca mengangguk setuju saat kami katakan kepadanya agar lebih baik mendaftar ke SMA dekat rumah. Karena bila melihat dari kondisi antrean yang ada sulit baginya untuk diterima di SMA pilihannya.
Namun, di SMA kedua yang kami datangi ini, jangankan untuk mendaftar. Bahkan untuk parkir kendaraan pun kami tidak mendapatkan tempat karena SMA kedua ini terletak di dalam jalan sempit dan permukiman padat. Tidak hanya itu, Dinas Pendidikan Kota Tangerang ternyata tidak meliburkan SMA negeri sehingga ruang parkir yang ada di dalam halaman dan luar sekolah penuh oleh motor dan mobil.
Melihat kondisi itu, saya segera mengarahkan kendaraan ke SMA terdekat kedua yang letaknya di pinggir jalan. Di sini antrean sudah mencair. Para orangtua dan calon siswa sudah terlihat duduk di dalam halaman sekolah. Semula kami seperti menemukan harapan. Namun, satpam yang kami temui untuk mengambil nomor antrean memusnahkan harapan itu. Ia menyarankan kami untuk datang besok hari pada pukul 6 pagi untuk mengantre pengambilan nomor antrean.
Karena pendaftaran pada hari ini sudah ditutup setelah jumlah antrean mencapai 600 pendaftar. Padahal, jumlah kursi yang tersedia di SMA negeri tersebut hanya 324 kursi. Wajah Caca yang semula tegang berubah menjadi pucat saat mendengarkan penjelasan satpam tadi. Aku yang sejak subuh mencoba tetap optimis berubah marah saat menilai sistem zonasi telah merampas impian dan semangat anak terkecil kami.
Masuk SMA negeri terbaik di Kota Tangerang, bagi Caca dan mungkin juga remaja sepertinya, sejatinya bukan untuk gengsi. Masuk SMA negeri terbaik seperti sudah mendapatkan setengah jaminan bagi Caca dan siswa-siswi yang giat belajar agar bisa masuk perguruan tinggi negeri. Jauh sebelum sistem zonasi diterbitkan, Caca sudah mempersiapkan diri untuk berkompetisi agar bisa mendapatkan nilai ujian nasional SMP tertinggi.
Ia juga sudah mengatur rute perjalanan hidupnya, agar selepas SMP ia bisa tetap berprestasi di bidang akademik sehingga bisa lulus ke universitas negeri terbaik yang diincarnya. Namun, Caca kini harus menyimpan mimpinya karena jangankan masuk SMA negeri terbaik, bahkan masuk SMA negeri terdekat dari rumah pun, sistem zonasi tidak menjaminnya.