Apakah "Buang Sampah Pada Tempatnya"
Hanya Berlaku Untuk Pasukan Orange?
Dalam perjalanan pulang kantor, saya mengamati kendaran yang berada di depan saya. Terlihat mereka seperti sepasang suami isteri. Tanpa menggunakan helm, sang istri sedang menikmati sebotol minuman ringan. Seiring perjalanan kami, sang istri kemudian melempar botol menuman tersebut di penggir jalan tanpa merasa bersalah. Saya pun terus mengamati dan si-istri kemudian memeluk suaminya sambil tersenyum bersama suaminya. Ternyata, di depan mereka ada pasukan orange yang sedang menyapu jalan. Pasukan orange tersebut melihat mereka dengan pandangan sinis, dan ketika saya melewatinya, saya menyapanya dengan mengatakan: "Bologo Dodou!" (Maafkan mereka).
Sepanjang perjalanan pulang, saya kemudian berpikir, kalau memarahi orang ini tentu sudah sangat tidak wajar. Namun ketika dibiarkan saja, tentu tidak baik juga. Dari hal ini saya kemudian bertanya dalam hati, Apakah "Buang sampah pada tempatnya" hanya berlaku untuk Pasukan Orange? Jawabannya tentu berlaku untuk semua kalangan.
Dari kejadian ini saya kemudian melihat bahwa hal utama dan pertama tidak terwujudnya lingkungan yang bersih adalah "kesadaran" setiap orang. Tanpa kesadaran sendiri untuk memulai membuang sampah pada tempatnya, kekuatan pasukan orange untuk membersihkan tidak akan pernah cukup. Dalam falsafah Ono Niha dikatakan: "hulo akhozi nomo ba Dumori, felezara zamaboli ba felendrua zanorinori" (seperti kebakaran rumah di Tumori, sebelas orang yang memadamkan dan dua belas orang yang sedang mengipas api). Dalam konteks ini saya pikir bahwa pasukan orange yang hanya sedikit, tidak akan mampu membersikan sampah yang dibuang oleh sekian orang.
Hal kedua yang membuat terwujudnya lingkungan yang bersih adalah "kebiasaan" membuang sampah pada tempatnya. Pepatah orang tua mengatakan: "dari kecil terajar-ajar, sampai besar terbawa-bawa". Pepatah ini menjadi penentu dari sebuah kebiasaan. Jika orang telah belajar sejak dari awal membuang sampah pada tempatnya, maka membuang sampah di sembarang tempat itu menjadi satu hal yang sulit untuk dilakukan.
Hal ketiga yang membuat terwujudnya lingkungan yang bersih adalah "bermuka tembok" setelah membuang sampah di sembarang tempat. Prinsip "bermuka tembok" ini menjadi pembelaan utama bagi para pelaku pembuang sampah di sembarang tempat. Mereka langsung mengatakan bahwa "Mengapa mereka bisa, saya juga bisa! Bukan hanya saya kok yang melakukannya." Prinsip semacam ini hanyalah untuk menghindari tugas dan meresa diri tidaklah bersalah.
Pemerintah telah bersusah payah menyiapkan tempat di berbagai titik, namun tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari semua kalangan, hal ini tentu tidak akan terwujud. Pasukan orange yang disiapkan oleh pemerintah senantiasa haruslah dilihat sebagai "pembantu" bukan pelaku utama. Kita masing-masing menjadi pelaku utama yang membuang sampah pada tempatnya sekaligus menjadi pelaku utama dalam mewujudkan lingkungan yang bersih dan nyaman.
Ketiga hal yang telah diuraikan ini menjadi perhatian bersama akan terciptanya linkungan yang bersih bebas dari sampah. Semua ini tentu tidak akan berjalan jika kita tidak mulai dari sekarang dan dimulai dari diri sendiri. Kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya menjadi kunci utama. Selanjutnya dalam keluarga, anak-anak pelan-pelan juga diajari untuk selalu meletakkan sampah pada tempatnya. Lewat pengajaran itulah habitus baru tercipta. Pada akhirnya, menumbuhkan "budaya malu" membuang sampah di sembarang tempat menjadi semboyang bersama dalam mewujudkan lingkungan yang bersih dan nyaman.
Gunungsitoli, 22 Juni 2021.