Sejak pemerintah mengakui ada kasus HIV/AIDS di Indonesia berdasarkan kasus kematian turis laki-laki WN Belanda, yang disebut gay, dengan penyakit terkait HIV/AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali, tahun 1987 tidak ada langkah yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS.
Sebenarnya, sebelum kematian WN Belanda itu sudah ada beberapa kasus terkait dengan HIV/AIDS, tapi tidak diakui oleh pemerintah. Bahkan, pada tahun 1988 ada penduduk asli Indonesia yang juga meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS di RS Sanglah.
Tidak ada riwayat penduduk asli Indonesia itu kontak fisik dengan turis WN Belanda itu. Jarak udara kampung penduduk asli Indonesia itu, di sebuah pulau, dengan RS Sanglah sekitar 2.800 km.
Yang perlu dipahami salah satu cara penularan HIV/AIDS adalah melalui hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal atau anal), di dalam dan luar nikah, dari seseorang yang mengidap HIV/AIDS ke pasangan seksualnya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Secara global pada akhir tahun 2023 kasus HIV/AIDS mencapai 39,9 juta, dengan 1,3 juta kasus baru di tahun 2023 dan 630.000 kematian (unaids.org).
Baca juga: Menyoal Kapan Kasus HIV/AIDS Pertama Ada di Indonesia (Kompasiana, 3 Januari 2011)
Tahun berganti tahun seiring dengan pergantian pemimpin nasional, tapi tetap saja penanggulangan HIV/AIDS hanya dengan orasi moral yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.
Baca juga: Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan "Seks Bebas" terkait Penularan HIV/AIDS (Kompasiana, 17 Mei 2022)
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS sejak tahun 1987 – Desember 2023 mencapai 729.219 yang terdiri atas 566.707 HIV dan 162.512 AIDS (Website HIV PIMS Indonesia).
Belakangan pemerintah, juga pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) sesumbar bahwa tahun 2030 tidak ada lagi penularan HIV baru di Tanah Air.