Setiap kali ada berita di media massa (koran, radio dan TV) dan media online (portal berita) tentang penumpang perahu, tongkang dan kapal laut yang tewas karena tenggelam tidak ada penjelasan tentang mengapa mereka tewas dan bagaimana mereka sampai (bisa) tenggelam.
Informasi itu penting sebagai bagian dari upaya mendidik masyarakat untuk menerapkan keselamatan dalam pelayaran.
Soalnya, jurnalistik, seperti dikatakan oleh Bang Hadi, panggilan akbar Ashadi Siregar, Direktur LP3Y Yogyakarta yang juga novelis trilogy "Cintaku di Kampus Biru" ini, berita yang komprehensif bukan tentang siapa dan apa, tapi mengapa dan bagaimana. Ini dua dari lima kelengkapan berita yaitu apa (what), siapa (who), kapan (when), di mana (where), mengapa (why) dan bagaimana (how) yang lebih dikenal sebagai 5W + 1H.
Baca juga: Tak Perlu Lagi Influencer karena Presiden Jokowi Sudah Sampaikan Kondisi IKN Secara Transparan
Korban-korban yang tewas karena tenggelam pada kecelakaan angkutan laut terjadi karena faktor keselamatan pelayaran yang tidak dijalankan dengan konsisten. Yaitu penumpang tidak memakai baju pelampung (life jacket) sebagai alat untuk menyelamatkan diri yang membuat korban tetap mengapung dengan kondisi mulut dan hidung di atas permukaan air.
Selain itu bisa jadi pula terjadi ada angkutan laut yang tidak menyediakan baju pelampung sesuai dengan jumlah penumpang.
Korban-korban yang tewas karena tenggelam terjadi karena mereka tidak memakai baju pelampung. Sejatinya, begitu naik perahu, tongkang, kapal motor dan feri penumpang sudah harus memakai baju pelampung sebelum berlayar.
Baca juga: Kapal Tenggelam di Danau Toba, Fenomena "Budaya Darat" vs "Budaya Air"
Kalau saja wartawan yang meliput kecelakaan angkutan laut mengeksplorasi kelengkapan navigasi, terutama radio dan baju pelampung, di angkutan laut yang celaka tentulah ada gambaran riil yang menyebabkan banyak penumpang tewas tenggelam.