Ketika dunia sudah menghadapi epidemi HIV/AIDS dengan paradigm berpikir yang positif, di Indonesia penanggulangan HIV/AIDS justru dibumbui dengan mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan gay atau yang juga dikenal sebagai LSL [Lelaki Suka Seks Lelaki yang merupakan terjemahan dari men who have sex with men (MSM)] dengan penularan HIV/AIDS.
Gay atau LSL adalah orientasi seksual yaitu pola ketertarikan secara seksual seseorang yang dalam hal ini masuk ketegori homoseksual (Lihat matriks orientasi seksual).
Jika disebut homoseksual sebagai faktor penyebab penularan HIV/AIDS, maka biseksual dan heteroseksual pun sejatinya disebut sebagai faktor penyebab penularan HIV/AIDS.
Baca juga: Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Klaten Bukan Karena Faktor Risiko LGBT
Tapi, faktanya tidak karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual, tapi kondisi saat terjadi hubungan seksual (seks vaginal, seks oral dan seks anal) baik secara heteroseksual (di dalam dan di luar nikah) maupun homoseksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual.
Sepasang LSL yang melakukan seks anal berisiko tertular HIV/AIDS jika yang menganal tidak memakai kondom karena bisa saja salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS.
Sebaliknya, kalau sepasang gay atau LSL dengan kondisi keduanya HIV-negatif dan yang menganal tidak memakai kondom melalukan seks anal, maka tidak ada risiko penularan HIV/AIDS pada hubungan seksual tersebut.
Baca juga: Berita tentang HIV/AIDS pada Kaum Gay Terkesan Sensasional dan Bombastis