Jagat media sosial diramaikan dengan ulah sopir mobil yang mabuk (11/7-2023) di Greenwich Park, BSD, Pagedangan, Tangerang, Banten, yang cekcok dengan mantan petarung olahraga MMA. Sopir mabuk itu memiting sopir mabuk dan melumpuhkannya.
Tentu saja akan lain halnya jika sopir mabuk cekcok dengan Lansia atau perempuan di pintu tol atau jalan raya yang tidak terjangkau kamera pengawas.
Celakanya, pada setiap razia kendaraan bermotor (Ranmor) dan pemeriksaan ketika terjadi kecelakaan lalu lintas (Lakalantas), yang pertama kali ditanya dan dicari polisi adalah SIM (surat izin mengemudi) dan STNK (surat tanda nomor kendaraan).
Padahal, secara empiris penyebab Lakalantas bukan karena yang mengemudikan tidak punya SIM atau STNK Ranmor mati atau tidak dibawa. Lakalantas terjadi karena human error, kondisi jalan dan kondisi kendaraan.
Biarpun seseorang mengemudi dengan mengantongi SIM C, A, B dan B1 umum, tapi kalau Ranmor yang dikemudikannya dalam kondisi rem rusak tentulah kecelakaan tidak bisa dihindarkan.
Begitu juga dengan alasan yang selalu disebutkan pengemudi, terutama truk dan angkutan umum, ketika terjadi kecelakaan yaitu menyebut rem blong.
Agaknya, rem blong jadi kambing hitam yang selalu diumbar pengemudi truk dan angkutan umum jika terjadi kecelakaan.
Tapi, apakah rem blong tiba-tiba saja terjadi?
Tentu saja ada faktor lain yang memicu rem blong. Lagi pula, mengapa pengemudi truk dan angkutan umum tidak over persneling ke gigi yang lebih rendah ketika mendekati turunan?
Sudah saatnya Polantas membalik paradigma berpikir: tidak semata merazia SIM dan STK, tapi juga melihat kondisi kendaraan, terutama rem, kemudi, lampu sein dan lampu setop.