Stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS terjadi karena identitas mereka bocor, padahal asas tes HIV adalah kerahasiaan identitas dan hasil tes
Menurut Sukarno (Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Jakarta Barat, Sukarno-pen.), banyak pasien yang melarikan diri dari pantauan petugas maupun tenaga kesehatan lantaran stigma buruk masyarakat. Ini ada dalam berita "Gara-gara Stigma Buruk Masyarakat, Banyak Pasien HIV/AIDS Kabur dan Sulit Dimonitor" di megapolitan.kompas.com (21/9-2022).
Pertanyaan yang sangat mendasar, tapi tidak ditanya oleh wartawan: Mengapa identitas pengidap HIV/AIDS di Jakarta Barat bocor ke masyarakat?
Dari judul berita saja sejatinya wartawan bisa mengembangkan informas tersebut dengan membawanya ke realias sosial di social settings.
Bedasarkan laporan siha.kemkes.go.id DKI Jakarta ada di peringkat ke-2 dalam jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional yaitu sebanyak 84.241 yang terdiri atas 73.414 HIV dan 10.827 AIDS (Lihat tabel).
Di bagian lain Sukarno mengatakan: "Banyak orang yang terkena HIV atau AIDS mereka takut kalau dicap oleh masyarakat. Mereka distigma seolah-olah orang yang terkena HIV adalah orang yang suka selingkuh atau persepsi lain."
Lagi-lagi pertanyaan untuk Sukarno: Mengapa masyarakat mengetahui identitas warga yang mengidap HIV/AIDS?
Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan mengapa dan bagaimana identitas warga yang mengidap HIV/AIDS bocor ke masyarakat.
Padahal, secara hukum ada beberapa syarat yang wajib dipatuhi oleh penyelenggara tes HIV, yaitu konfidensial (kerahasiaan) identitas dan hasil tes HIV, konseling sebelum dan sesudah tes HIV, informed consent (pernyataan tertulis bersedia menjalani tes HIV).