Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Menurunkan Stunting di Indonesia dengan Program Pencegahan di Hulu

Diperbarui: 1 Februari 2022   12:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: kesmas.kemkes.go.id)

Stunting? Mungkin bagi sebagian orang hal itu asing. Mungkin saja hal itu jadi salah satu faktor yang membuat angka stunting (sindrom perawakan pendek) di Indonesia tinggi jika dibandingkan dengan negara lain, seperti negara-negara di ASEAN. Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2021 (24,4%) hanya lebih baik jika dibandingkan Myanmar (35%), tapi lebih tinggi daripada Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%).

Secara harfiah stunting adalah pertumbuhan badan yang tidak sesuai dengan umurnya, seperti tinggi dan berat badan. Andaikan anak-anak berumur 2 tahun dari seluruh dunia dijejer berdiri, maka tinggi dan berat badannya akan sama. Tapi, kalau ada anak-anak yang tinggi dan berat badannya di bawah normal itu artinya anak tersebut masuk kategori stunting. Kondisi itu bisa terjadi antara lain malanutrisi pada 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) yaitu 270 hari selama dalam kandungan dan 730 hari setelah lahir atau dua tahun pertama kehidupan.

Hasil SSGI (Studi Status Gizi Indonesia) Kemenkes dan BPS tahun 2021 menunjukkan angka stunting secara nasional turun sebesar 1,6% per tahun dari 27.7% pada tahun 2019 menjadi 24,4% tahun 2021. Dari 34 provinsi ada 5 provinsi yang menunjukkan angka stunting naik. Artinya, ada 29 provinsi yang bisa menurunkan angka stunting. Kondisi ini merupakan salah satu indikator implementasi dari kebijakan pemerintah mendorong percepatan penurunan stunting di Indonesia memberi hasil yang baik.

1. Stunting Melalui Diagnosis Medis

Upaya Indonesia melalui Kemenkes adalah menurunkan jumlah kasus stunting sebesar 14% pada tahun 2024. Data tahun 2019 menunjukkan prevalensi stunting ada di angka 27,67%, sehingga target pada tahun 2024 prevalensi stunting di Indonesia sebesar 13,67%. Hal ini terkait dengan upaya wujudkan generasi sehat di masa depan.

Stunting tidak bisa hanya dilihat dari fisik sebagai sindroma perawakan badan pendek, karena dari aspek medis stunting bisa memperlambat perkembangan otak yang dalam waktu jangka panjang bisa mendorong kondisi keterbelakangan mental. Pada gilirannya kondisi itu akan menurunkan kemampuan belajar sehingga menghambat pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang handal.

Namun, perlu diingat bahwa sindrom perawakan badan pendek tidak otomatis terkait dengan stunting. "Untuk menentukan stunting harus melalui diagnosis dokter spesialis anak agar bisa diketahui apakah karena malanutrisi atau genetika," kata Prof dr Damayanti Rusli Sjarif, Dokter Spesialis Anak dan Guru Besar FKUI. Prof Damayanti memberikan contoh (alm) Prof Dr BJ Habibie yang pendek bukan karena stunting.

Secara faktual tidak ada kaitan langsung antara kemiskinan dan stunting. Seperti yang dikatakan oleh Prof Damayanti, yang datang konsultasi dengan anak stunting justru ada orang kaya dengan mobil mewah. Hal itu terjadi, menurut Prof Damayanti, karena ketidaktahuan banyak orang tua tentang asupan makanan. Baik ketika hamil maupun setelah bayi lahir. Juga pemahaman tentang obesitas yang kurang akurat di banyak kalangan.

Lagi pula kalau dilihat dari pola pengeluaran untuk konsumsi keluarga, terutama kalangan menengah ke bawah, lebih mementingkan rokok dan pulsa daripada membeli ikan dan daging. Setiap hari bisa dua sampai tiga bungkus rokok seharga Rp 36.000. Uang ini cukup membeli ikan kembung atau makanan bergizi lain untuk keluarga, terutama anak-anak.

Ilustrasi (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=aPNcjfelOog&ab_channel=HarianKompas)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline