Pandemi atau wabah virus corona baru (Coronavirus Disease 2019/Covid-19) menenggelamkan program penanggulangan HIV/AIDS.
Padahal, laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 29 Mei 2020, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987 sd. 31 Maret 2020 tercatat 511.955. Kasus ini dilaporkan dari 34 provinsi yang ada di Indonesia.
Penyebaran HIV/AIDS sendiri erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi (511.955) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut.
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terus terjadi tanpa disadari banyak orang. Indikatornya bisa dilihat dari jumlah ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Laporan Kemenkes tahun 2013, misalnya, berdasarkan survey di beberapa kota pelabuhan dan perbatasan antar negara menunjukkan sampai akhir tahun 2013 ada 6,7 juta laki-laki dewasa di Indonesia yang jadi pelanggan 230.000 pekerja seks komersial (PSK).
Celakanya, 4,9 juta dari 6,7 juta laki-laki pelanggan PSK itu mempunyai istri (bali.antaranews.com, 9 April 2013). Itu artinya 4,9 juta perempuan berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya.
Penularan HIV/AIDS Bukan Karena Sifat Hubungan Seksual
Persoalan HIV/AIDS jadi ruwet di Indonesia karena di awal-awal epedimi informasi tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengaitkan risiko tertular HIV/AIDS jika melakukan hubungan seksual dengan PSK, homoseksual, orang asing, dll.
Baca juga: Kapan, Sih, Awal Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia?
Padahal, beberapa perilaku seksual laki-laki dan perempuan yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS sama sekali tidak terkait langsung dengan PSK, homoseksual, orang asing, dll.