"Indonesia diperkirakan gagal mencapai target penanggulangan HIV/AIDS pada 2020. Kendala teknis dan stigma diduga jadi penyebabnya." Pernyataan ini ada dalam berita "Terburuk ke-7 di Asia, RI Terancam Gagal Capai Target Penanggulangan HIV/AIDS" (VOA Indonesia, 31/7-2019).
Kesimpulan dalam pernyataan di atas jelas ngawur bin ngaco.
Pertama, stigma (pemberian cap buruk) ada di hilir yaitu pada orang-orang yang sudah tertular HIV/AIDS dan terdeteksi melalui tes HIV.
Kedua, orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS sebagian besar sudah menjalani pengobatan yaitu dengan terapi obat antiretroviral (ARV) sehingga menurunkan risiko menularkan.
Ketiga, kendala teknis apa?
Penanggulangan HIV/AIDS yang dimaksud berhasil pada tahun 2020 adalah tidak ada lagi infeksi HIV baru. Ini 'kan sama saja dengan angan-angan sebagai bunga tidur di siang bolong.
Soalnya, sejak awal epidemi HIV/AIDS yang diakui pemerintah yaitu tahun 1987 tidak ada program riil dan konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru di hulu yaitu pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2016 disebutkan 640.443, tapi per 31 Maret 2019 baru 453.964 yang terdeteksi atau 70,88 persen yang terdiri atas 338.363 HIV dan 115.601 AIDS (Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 11/5-2019).
Dikatakan oleh Direktur Eksekutif Rumah Cemara, Aditia Taslim, jika banyak orang tidak mengetahui status HIV-nya, bisa saja mereka menularkannya kepada orang lain.
Yang jadi persoalan besar adalah tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang tersembunyi di masyarakat. Dalam epidemi HIV/AIDS disebut sebagai bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut, sedangkan kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut.