Bayangkan sebuah teluk setiap hari didatangi 5.000 wisatawan. Seberapa besar uang yang beredar di kawasan teluk itu. Tapi, si empunya teluk (baca: Thailand) justru akan menutup teluk itu untuk turisme sampai tahun 2021. Tahun 2018 dikabarkan teluk ini dikabarkan dikunjungi 2,5 juta turis.
Lho, kenapa? Seperti diberitakan "BBC News Indonesia" (10/5-2019) teluk tersebut, yaitu Teluk Maya di Pulau Phi Phi Leh di wilayah selatan Thailand terumbu karang di perairan teluk itu rusak.
Padahal, Teluk Maya merupakan salah satu ikon wisata Thailand yang terkenal berkat pembuatan film (lokasi shooting) "The Beach" yang dibintangi aktor Hollywood, Leonardo DiCaprio tahun 2000. Berkat film itu Teluk Maya pun jadi tujuan turis dari Thailand dan mancanegera.
Kawasan wisata pantai Teluk Maya yang kemudian dikenal sebagai tujuan wisata "The Beach" sudah ditutup untuk kegiatan pariwisata sejak tahun 2018. Rupanya, pemerintah Negeri Gajah Putih itu lebih memilih menyelamatkan lingkungan daripada mengeruk untung dari kegiatan wisata di teluk itu.
[Baca juga: Filipina dan Thailand Tutup Kawasan Wisata karena Kerusakan Ekosistem, Bagaimana dengan Indonesia?]
Selain terkenal karena dijadikan lokasi syuting film, pantai di teluk itu pun disebut sebagai daya tarik karena pasir putih di sepanjang pantai. Semula pantai ini ditutup dua tahun sejak Juni 2018, tapi Thailand memperpanjang masa penutupan dua tahun lagi sampai tahun 2021.
Teluk Maya yang dikenal sebagai "The Beach" terletak sekitar 48 km dari kawasan wisata Phuket. Pengunjung memakai speedboat dari Phuket. Biar pun dalam film "The Beach" daya tarik teluk karena ada pasokan ganja tak terbatas, tapi turis ke teluk itu bukan untuk mencari ganja.
Kerusakan teluk yang kecil itu tidak bisa dihindari karena setiap hari diperkirakan ada 200 speedboat yang hilir-mudik dari berbagai kawasan ke teluk membawa 5.000 turis. Diperkirakan 80 persen karena di Teluk Maya rusak berat karena polusi sampah dan bahan bakar speedboat serta krim kulit mencegah sengatan matahari.
Kepada koran Inggris "The Guardian" Songtam Suksawang, direktur taman nasional, mengatakan, "Sangat sulit untuk memperbaiki dan merehabilitasi (terumbu karang-pen.) karena pantai dan tanaman yang menutupinya hancur." Suksawang menambahkan bahwa idak mungkin pemulihan terjadi dalam waktu yang ditentukan.