"Pemerintah diminta menghapus segala macam regulasi lokal yang diskriminatif. Aturan yang diskriminatif melegalisasi intoleransi." Ini sub-judul berita "Rombak Aturan-aturan Diskriminatif" di Harian "KOMPAS" edisi 4 April 2019.
Bisa jadi sub-judul di atas refleksi dari pernyataan dalam tubuh berita: Karena itu, Setara Institute mendesak pemerintah agar menghentikan segala macam sikap eksklusi terhadap minoritas dengan melakukan tindakan yang progresif menghapus segala macam regulasi lokal yang diskriminatif.
Tidak jelas apakah Direktur Riset Setara Institute, Halili, narasumber berita ini tidak mengetahui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk membatalkan peraturan daerah (Perda). (jpnn.com, 5/4-2017). Itu artinya wewenang pemerintah, dalam hal ini presiden melalui Kemendagri, sudah diamputasi oleh MK untuk mencampuri peraturan daerah (Perda) di pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota.
Belakangan ini muncul kasus penolakan warga terhadap pendatang karena beda agama di Dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Penolakan itu berkekuatan hukum yaitu keputusan musyawarah desa yang dituangkan dalam SK No. 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Dusun Karet.
Adalah Slamet Jumiarto, 42 tahun, dan keluarganya ditolak oleh RT dan warga karena Slamet dan Slamet sekeluarga beragama Katolik yang berbeda dengan agama warga di dusun itu.
Pada awalnya Presiden Jokowi ingin agar peraturan di daerah yang menghalangi percepatan pembangunan dan investasi dicabut. Daerah melawan bahkan penolakan dibalut dengan unsur agama sehingga yang muncul adalah pemerintah akan mencabut perda-perda syariah. Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) kemudian menggugat Mendagri ke MK dan MK mengabulkan gugatan Apkasi. Dalam mengambil keputusan tsb. MK tidak bulat karena ada empat hakim konstitusi yang memiliki pendapat beda atau dissenting opinion (jpnn.com, 5/4-2017).
Yang lebih konyol adalah Elaine Pearson, Direktur HRW di Australia, yang mengatakan: "Presiden Jokowi memilih tidak menggunakan kemampuan politiknya untuk mencabut peraturan diskriminatif atau melindungi minoritas dari pelecehan." (abc.net.au, 19/1-2019). Tidak jelas apakah Pearson menerima informasi dari 'kaki tangannya' di Indonesia atau tanggapannya sendiri tanpa memahami sistem hukum di Indonesia pasca reformasi dengan UU Otonomi Daerah.
[Baca juga: Direktur HRW Lancarkan Provokasi Terhadap (Kebijakan) Presiden Jokowi]
Yang lebih konyol lagi adalah pernyataan Pearson ini: Peraturan Daerah Syariah yang diterapkan Provinsi Aceh juga kembali jadi sorotan, setelah di bulan September 2018, Pemerintah Kabupaten Bireuen melarang pasangan yang bukan suami istri duduk semeja di restoran. Rupanya, 'pembisik' Pearson tidak mengetahui kalau Aceh ditetapkan sebagai daerah otonomi khusus dengan syariat Islam melalui UU yang dikeluarkan di masa pemeritnahan Presiden Megawati Soekarnoputri
Maka, amatlah menggelikan kalau kemudian Direktur Riset Setara Institute, Halili, juga tidak memahami kondisi Indonesia terkait dengan Perda.