Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Membandingkan Tarif MRT Jakarta dengan Tarif MRT di ASEAN

Diperbarui: 2 April 2019   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi meninjau MRT Jakarta pada peresmian tanggal 24/3-2019 (Sumber: m.bizlaw.id)

Hari Senin tepatnya tanggal 1 April 2019 warga Jakarta khususnya dan rakyat Indonesia mulai memakai jenis transportasi yang terhindar dari kemacetan sehingga cepat sampai ke tujuan yaitu MRT (Moda Raya Transpor) fase pertama pada jalur Bundaran HI (Jakarta Pusat) sampai ke Lebak Bulus (Jakarta Selatan) sepanjang 16 km dengan 13 stasiun yang terdiri atas 6 di bawah tanah (underground) dan 7 stasiun layang (elevated).

MRT (mass rapid transit) sendiri merupakan sarana transportasi massal yang cepat karena terhindar dari kemacetan dan persimpangan jalan.

Kalau membaca berita di media massa dan media online serta mendengar talkshow di televisi, pembicara yang disebut pengamat perkotaan dan transportasi selalu mengatakan: mengatasi kemacetan. Ini jadi rancu karena semua kota di dunia macet. Tapi, di banyak kota besar di dunia ada opsi (pilihan) transport yang bebas dari kemacetan yaitu MRT (di bawah tanah atau melayang).

Penumpang MRT Singapura (Sumber: livingnomads.com)

Ada lagi pengamat yang mengatakan pertambahan kendaraan bermotor tidak sebanding dengan pertambahan (panjang) jalan raya. Ini juga membingungkan karena kemacetan tidak terjadi di semua ruas jalan dan tidak sepanjang hari. Kemacetan hanya terjadi di titik-titik tertentu.

Yang diperlukan adalah pilihan moda transpor yang cepat dan mengangkut banyak orang. Bank Dunia sudah wanti-wanti di awal tahun 1980-an bahwa kota dengan penduduk di atas 1 juta harus mempunyai jaringan transportasi MRT. Selain MRT ada lagi LRT (light rail transit) yaitu kereta listrik layang yang lebih sedikit muatannya daripada MRT.

Penumpang MRT Kuala Lumpur (Sumber: freemalaysiatoday.com)

Diskusi MRT dan LRT hanya sebatas wacana karena sampai tahun 2012 tidak ada tanda-tanda yang konkret untuk membangun MRT. Memang, ada proyek LRT tapi 'gatot' (gagal total). Hanya tersisa tiang pancang di beberapa ruas jalan di Ibu Kota.

[Baca juga: Monorail Jakarta: Tanggalkan Kepentingan Politis dan Bisnis Kedepankan Hak Publik]

Harapan warga Jakarta untuk menikmati perjalanan di ibu kota yang nyaman dan terhindar dari kemacetan akhirnya jadi kenyataan ketika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan pembangunan MRT Fase I Bundaran HI -- Lebak Bulus.

Penumpang MRT bawah tanah di Bangkok (Sumber: bangkok.com)

Banyak kalangan yang mengatakan langkah Jokowi membangun MRT dan LRT sebagai 'keberanian politik' untuk membangun sarana traportasi yang (lebih) beradab. Harap maklum tidak mungkin memakai dana APBD Jakarta atau APBN untuk membangun MRT dengan biaya 1,7 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 25 triliun. Dengan menggandeng pihak lain akhirnya MRT Jakarta beroperasi resmi secara komersial mulai tanggal 1 April 2019, yaitu pinjaman dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC), yang kemudian bergabung ke dalam Japan International Cooperation Agency (JICA).

[Baca juga: MRT dan LRT, Keberanian Politik Jokowi Bangun Transportasi Beradab]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline