Budi (Ketua Pokja Penanggulangan HIV/AIDS Kestalan, B. Budi Susetyo-pen.) menjelaskan setiap tahun Pokja Penanggulangan HIV/AIDS Kestalan rutin melakukan pemeriksaan kesehatan para pekerja seks komersial (PSK). Kegiatan tersebut sekaligus diisi dengan sosialisasi agar para PSK berhati-hati supaya tak tertular HIV/AIDS (soloraya.solopos.com, 9/3-2019).
Ada beberapa hal yang luput dari perhatian Budi dan wartawan yang menulis berita ini, yaitu:
Pertama, pemeriksaan kesehatan tidak sama dengan tes HIV karena tes HIV dilakukan dengan cara-cara yang khas, al. konseling sebelum dan sesudah tes, anonimitas, persetujuan tertulis, dan kerahasiaan.
Kedua, kalau pun yang dilakukan KPA terhadap PSK adalah tes HIV tidak otomatis menggambarkan kondisi riil dari PSK karena tes HIV hanya akurat jika dilakukan minimal tiga bulan setelah tertular (dalam hal ini hubungan seksual terakhir dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom).
Ketiga, jika tes dilakukan di bawah tiga bulan setelah tertular atau hubungan seksual terakhir dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom hasilnya bisa negatif palsu (HIV ada di darah tapi tidak terdeteksi) atau positif palsu (HIV tidak ada di daerah tapi hasil tes reaktif).
Keempat, jika tes HIV terhadap PSK hasilnya positif itu artinya PSK itu sudah tertular HIV minimal tiga bulan sebelum tes HIV dilakukan. Berbagai survey dan studi menunjukkan seorang PSK rata-rata melayani seks tanpa kondom dengan 3 -- 5 laki-laki setiap malam. Itu artinya sebelum PSK tadi menjalani tes HIV sudah ada 180 -- 300 (1 PSK x 3 atau 5 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Jika PSK itu terdeteksi HIV di masa AIDS (secara statistik antara 5 -- 15 tahun setelah tertular HIV), maka jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV kian banyak lagi yaitu 4.500 atau 6.000 -- 10.800 atau18.000 (1 PSK x 3 atau 5 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 12 bulan x 5 atau 15 tahun).
Kelima, laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko menularkan HIV ke istrinya atau pasangan seks lain (horizontal). Jika istrinya tertular HIV ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya (vertical) terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Laki-laki ini jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Keenam, sebelum PSK tsb. menjalani tes HIV sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV karena seks dengan PSK tanpa memakai kondom. Dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko menularkan HIV ke istrinya atau pasangan seks lain (horizontal). Jika istrinya tertular HIV ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya (vertical) terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Laki-laki ini jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Enam hal di atas luput dari perhatian Budi dan wartawan sehingga berita pun sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang realitas terkait dengan penemuan PSK yang mengidap HIV/AIDS.
Berita hanya menyasar PSK. Persoalan besar bukan lagi pada PSK karena kondisi PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS sudah di terminal akhir, sedangkan laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK justru ada di awal epdemi sebagai mata rantai penyebar HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dalam berita disebutkan: Apalagi saat pemerintah mengamanatkan pembentukan warga peduli AIDS (WPA) dengan menyasar kelompok risiko tinggi (risti) penularan HIV/AIDS.