Di tahun 1980-an Bank Dunia merilis hasil studi tentang angkutan atau transportasi di perkotaan yang menyebutkan sebuah kota dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa wajib mengoperasikan transportasi cepat massal yang bebas macet.
Transportasi itu kemudian dikenal sebagai mass rapid transit (MRT) dalam bentuk kereta listrik di bawah tanah atau melayang. MRT bukan untuk mengatasi kemacetan, seperti yang selalu diucapkan oleh pakar dan pengamat perkotaan di televisi, tapi opsi atau pilihan angkutan yang bebas macet.
Penglaju
Maka, proyek MRT, di bawah tanah, yang digagas Joko Widodo yang lebih dikenal sebagai Jokowi, waktu itu Gubernur DKI Jakarta, fase I dari Bundaran HI sampai ke Lebak Bulus seharusnya dibangun 30 tahun yang lalu. Saat itu penduduk Jakarta berjumlah 6 503 449 (BPS).
Singapura mengoperasikan MRT yang membelah kota negara itu dari Utara-Selatan sepanjang enam kilometer pada tanggal 7 November 1987 yang melayani 2,411,700 warga dan pengulang-alik. Sampai tahun 2017 panjang rel MRT Singapura mencapai 199,6 km yang melintasi 119 stasiun. Tahun 1999 Singapura juga membangun LRT (light rail transit) sebagai pengumpan MRT.
Di Kuala Lumpur, Malaysia, KL Monorail Line, mulai dioperasikan tanggal 31 Agustus 2003 dengan pajang rel 8.6 km yang melewati 11 stasiun melayani 1,31 juta warga. Sekarang KL Monorail Line, di kalangan warga Malaysia disebut "MRT" sudah membelah KL Barat-Timur dan Utara Selatan dengan jaringan lebih dari 50 km.
Bangkok pun mengoperasikan Metropolitan Rapid Transit sejak tanggal 3 Juli 2004 sepanjang 20 km yang melewati 18 stasiun melayani 6,3 juta warga. Warga Bangkok menyebut rotfaifa mahanakhon (kereta listrik metropolitan). Bangkok mengoperaikan MRT di bawah tanah dan rel layang.
Sedangkan Manila, Filipina, mengoperasikan Manila Light Rail Transit System (dalam bahasa Tagalog disebut Sistema ng Magaang Riles Panlulan ng Maynila) sejak 1 Desember 1984 dengan panjang rel total 33,4 km yang melewati 31 stasiun untuk layani 5,954,719 warga. LRT ini rel layang.
Dengan penduduk 9.603.417 jiwa di malam hari, Jakarta menjadi magnet bagi pekerja ulang-alik atau penglaju (commuters) dari berbagai kota mulai dari Bekasi, Karawang dan Purwakarta di belahan Timur, Depok, Bogor, dan Sukabumi di Selatan, serta Tengerang dan Serang di bagian Barat.
Dengan jumlah pengulang-alik atau penglaju setiap hari yang mencapai 1.500.000, walhasil, penduduk Jakarta di siang hari mencapai 11,1 juta jiwa Jakarta tidak menyediakan angkutan cepat massal (mass rapid transit/MRT atau light rapid transit/LRT).
[Baca juga: Monorail Jakarta: Tanggalkan Kepentingan Politis dan Bisnis Kedepankan Hak Publik]