Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Cela Utang, tapi Ada yang Tak (Pernah) Bayar Pajak

Diperbarui: 31 Januari 2019   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: blogs.worldbank.org)

Disclaimer: Saya bukan politikus dan tim sukses bukan pula pengamat sehingga artikel ini merupakan tulisan semata-mata berdasarkan perspektif seorang blogger.

Banyak negara maju di dunia yang tidak mempunyai sumber daya alam. Negara-negara itu al. berkembang secara ekonomis karena ketaatan warga negara membayar pajak. Pendapatan negara dari pajak merupakan bahan bakar mesin ekonomi.

Ketika sebuah negara yang kaya dengan sumber daya alam ternyata terseok-seok secara ekonomi karena harta kekayaan negara digerogoti melalui korupsi, ngemplang pajak, dan warga yang melarikan kekayaan ke luar negeri.  

Seperti yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani: Presiden Joko Widodo meminta pengusaha nasional untuk membawa pulang devisa hasil ekspor ke Indonesia, sebagai upaya memperkuat ketahanan ekonomi di Tanah Air (jabar.tribunnews.com, 27/7-2018).

Harapan Presiden Jokowi sangat masuk akal karena kekayaan yang dibawa ke luar negeri itu dikeruk dari Bumi Pertiwi, bahkan sampai ada yang merusak ekosistem, tapi yang menikmati hasilnya bank-bank di luar negeri.

Ketika Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik jadi presiden dan wakil presiden 20 Oktober 2014 mereka sudah ketiban pulung dengan beban hutang Rp 2.700 triliun dan cicilan bunga Rp 2.500 triliun/tahun. Selama empat tahun pemerintahan Jokowi/JK sudah membayar cicilan utang. Pada saat yang sama infrastruktur, terutama jalan raya, tidak mendukung bisnis dengan skala nasional. Tidak ada pilihan lain selain membangun infrastruktur.

Persoalan muncul karena tidak ada dana dalam negeri. Adalah hal yang mustahil memakai dana APBN untuk membangun infrastruktur. Pemerintah Jokowi/JK akhirnya meminjam dana ke luar negeri untuk mendorong pembangunan nasional. Dalam bahasa Jokowi pinjaman (baca; utang) dipakai untuk kegiatan yang produktif, seperti pembangunan infrastruktur.

Sedangkan di masa-masa pemerintah sebelum Jokowi/JK utang luar negeri dijadikan sebagai penopang subsidi, terutama subsidi bahan pokok dan bahan bakar minyak (BBM). Banyak orang yang tidak memahami mengapa dulu harga-harga murah. Itu semua karena ada subsidi dengan dana pinjaman dari luar negeri (baca: utang).

Ketika Pemerintahan Jokowi/JK membangun dengan utang nada-nada sumbang pun muncul. Celakanya, tidak ada yang bisa memberikan jalan keluar untuk mendorong pembangunan tanpa berutang. 

Jokowi/JK tidak sepenuhnya berutang untuk membangun infrastruktur, tapi juga menjalankan program BOT (build-operate-transfer) untuk proyek-proyek besar, seperti kereta api cepat Bandung-Jakarta dan beberapa ruas jalan tol.

Perihal BOT ini pun banyak yang tidak paham dan juga terjadi karena menipulasi fakta oleh 'the haters' dengan menyebut asing akan menguasai jalan tol dan kereta api. Padahal, yang terjadi adalah BOT dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, setelah 20 tahun proyek tsb. diserahkan ke pemerintah. Padahal, pemerintah sama sekali tidak mengeluarkan uang untuk proyek tsb.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline