Disclaimer: Artikel ini tidak ada kaitannya dengan dukungan terhadap Pemerintahan Jokowi/JK karena ulasan murni berdasarkan fakta.
"Presiden Jokowi memilih tidak menggunakan kemampuan politiknya untuk mencabut peraturan diskriminatif atau melindungi minoritas dari pelecehan," kata Elaine Pearson, Direktur HRW di Australia. Ini kutipan dalam berita "Human Rights Watch Nilai Indonesia Kurang Berusaha Atasi Intoleransi" (abc.net.au, 19/1-2019)
Ini orang benar-benar provokator. Sontoloyo. Jangankan peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan syariah, Perda yang sema-mata terkait dengan perizinan pembangunan pun tidak bisa dicabut oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI. Kekuatan hukum Perda yang diterbitkan oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan menganulir wewenang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mencabut Perda (kompas.com, 14/6-2017).
Rupanya, Pearson tidak mendapat informasi yang akurat tentang penolakan daerah terhadap rencana Kemendagri mencabut perda-perda yang menghambat laju pembangunan, terutama tentang perizinan.
Bahkan, isu berkembang dengan menggiring opini publik bahwa yang akan dicabut adalah perda syariah. Maka, penolakan itu pun dibalut pula dengan isu syariah sehingga yang mencuat ke permukaan adalah pemerintah (baca; Jokowi) akan mencabut perda-perda syariah.
Dalam berita ada pernyataan: Sepanjang tahun 2018, HRW menilai Indonesia, dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo, mengambil langkah yang dianggap "kecil" untuk melindungi warga yang hak-haknya rentan dirampas.
Lagi-lagi HRW yang beken sebagai organisasi global ternyata cetek pemikirannya. Sejak UU Otda disahkan (2004) Indonesia sudah jadi 'negara federal' yang berkuasa penuh di provinsi adalah gubernur, bupati di kabupaten dan walikota di kotamadya.
Lagi pula kalau laporan ini memang dibuat dengan niat adil dan jujur, maka bandingkan, dong, dengan kepemimpinan Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ini baru jujur dan adil. Kalau hanya melihat pemerintahan Presiden Jokowi itu sama saja dengan 'laporan pesanan'.
Tidak ada lagi garis komando dari presiden-menteri-gubernur-bupati/walikota. Pusat hanya berwewenang urus moneter, luar negeri dan hankam. Maka, semasa Presiden Gus Dur dua departemen (Sosial/Depsos dan Penerangan/Deppen) ditutup karena tidak ada lagi yang mereka kerjakan. Semua urusan sosial dan informasi sudah ada di tangan daerah.
Ketika ada Perda yang berpotensi menindas kaum minoritas, sudah jelas Jokowi tidak bisa berbuat apa-apa karena MK sudah menganulir wewenang Mendagri mencabut Perda. Ini fakta hukum.
Badan atau lembaga sekelas PBB pun ternyata hanya berani ‘melawan’ Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terkait dengan hukuman mati. Padahal, Indonesia jauh di bawah Cina, Iran, Irak, Arab Saudi, Pakistan, AS, dll. dalam jumlah eksekusi mati. Lagi pula vonis hukuman mati dilakukan di pengadilan negeri melalui sidang terbuka dan ada beberapa opsi pembelaan, mulai dari banding, kasasi sampai peninjuan kembali (PK).