Salah satu mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yang selalu didenung-dengungkan adalah bahwa (sumber) HIV/AIDS ada pada pekerja seks komersial (PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Maka, muncullah aksi masif untuk menutup lokasi dan lokalisasi pelacuran di seluruh Nusantara.
Ada fakta yang digelapkan yaitu: HIV/AIDS yang terdeteksi pada PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran dibawa oleh laki-laki pengidap HIV/AIDS yang kemudian ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom.
Laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami yang akhirnya juga menularkan HIV ke istrinya. Selanjutnya istrinuya pun bisa pula menularkan HIV ke janin yang dikandungnya, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Fakta di atas selalu diabaikan dan berbagai pidato, ceramah, dll. selalu menyebut PSK dan lokasi pelacuran sebagai 'sarang HIV/AIDS'. Inilah mitos yang sampai sekarang terus dijadikan orasi moral untuk menutupi perzinaan yang terjadi melalui transaksi seks dalam berbagai modus, al. pelacuran online dengan memakai alat telekominikasi dan media sosial.
Didorong mitos yang mengaitkan HIV/AIDS dengan PSK, dalam hal ini PSK langsung, dan lokasi pelacuran di banyak daerah Satpol PP bahkan terkadang didukung Polisi menangap perempuan-perempuan yang mangkal di jalanan dan bekas tempat atau lokasi pelacuran. Dengan dukungan Dinas Keshatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) setempat perempuan-perempuan yang ditangkap dengan tuduhan sebagai PSK itu pun langsung diambil darahnya untuk tes HIV.
Jika dikaitkan dengan hukum, maka langkah Dinkes dan KPA itu melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia karena standar prosedur operasi tes HIV yang baku harus didahului dengan konseling (pemberian informasi yang akurat tentang HIV/AIDS) sebelum tes dan sesudah tes, informed consent (persetujuan tertulis) dan asas konfidensialitas (kerahasiaan hasil tes HIV dan identitas).
Yang paling tidak masuk akal adalah wartawan dengan ringan tangan memotret PSK ketika darahnya diambil dan memuat foto-foto tsb. di media cetak, media elektronik dan media online. Ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan mengangkangi asas jurnalistik karena melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.
[Baca juga: Hati Nurani Wartawan dalam Berita AIDS]
Dalam razia PSK jalanan Dinkes dan KPA mengabaikan standar. Sebenarnya boleh-boleh saja tanpa mengikuti standar tapi dengan sistem survailans tes HIV yaitu darah tidak ditandai dengan identitas dan hasilnya dalam bentuk prevalensi kasus HIV pada PSK jalanan "X" pada masa tertentu pula.
Yang terjadi justru identitas dan foto PSK yang tertangkap dan jalani tes HIV dibeberkan oleh media. Dari aspek jurnalistik cara-cara ini tidak mendukung upaya penanggulangan HIV/AIDS bahkan cenderung sebagai kontra produktif. Hal ini sama sekali tidak disadari oleh Dinas Kesehatan dan KPA.
Kondisinya kian runyam karena Kementerian Kesehatan RI pun sama sekali tidak peduli terkait dengan langkah buruk yang menyuburkan mitos AIDS tsb. Buktinya, tidak ada protes terhadap pengabaian tes HIV terhadap cewek-cewek yang tertangkap dalam sindikat pelacuran online.