"Prabowo Akan Bentuk Kementerian Kebencanaan Jika Jadi Presiden." Ini judul berita di tribunnews.com (31/12-2018). Mitigasi bencana alam, terutama tsunami, merupakan fenomena yang mirip dengan alergi yaitu bukan dengan membentuk kementerian baru, tapi menghindari penyebab alergi bukan mencari obat.
Begitu juga dengan bencana alam yang bisa diketahui penyebabnya dengan pasti, seperti gempa, letusan gunung berapi, dan tsunami yang perlu dilakukan adalah menjauhi lokasi terdampak bencana.
Maka, cara Jepang yang merelokasi warga dari pantai yang terdampak tumbukan tsunami merupakan langkah yang arif dan bijaksana. Bukan berarti di pantai tidak boleh ada kegiatan, seperti yang terdengar dari pengungsi tsunami yang mengatakan kehidupan mereka ada di pantai.
[Baca juga: Shelter untuk yang Beraktivitas di Zona Tumbukan Tsunami]
Yang direlokasi dari pantai terdampak tsunami adalah permukiman, sedangkan kegiatan ekonomi terutama yang terkait dengan pariwisata tetap ada seperti restoran, tempat-tempat berteduh, kegiatan air, dll. Namun, pengelola tempat usaha tidak boleh menginap sehingga biar pun tsumami menerjang di tengah malam buta tidak memakan korban jiwa.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho. mengatakan bahwa shelter diperlukan dalam upaya mitigasi tsunami (kompas.com, 28/12-2018). Tapi, Sutopo lupa apakah dengan kecepatan lidah gelombang tsunami yang mencapai 640 -- 950 km/jam warga di pantai terdampak tsunami bisa berlari ke shelter?
[Baca juga: Perbincangan Tsunami Tanpa Upaya Riil Mencegah Korban]
Headline Harian "Kompas" edisi 31/12-2018 melaporkan pembangunan gedung yang akan jadi shelter (tempat pengungsian sementara yang aman, misalnya karena bencana alam) korban tsunami di pesisir barat Banten di Pasar Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, mangkrak.
Jarak dari pantai terdekat terdampak tsunami yaitu Carita sekitar 1,5 km dari bangunan shelter yang mangkrak. Tapi, tidak ada ulasan yang rinci bagaimana cara warga dari pantai terdampak tsunami dievakuasi ke gedung itu.
Sejalan dengan pernyataan Sutopo, apakah dalam waktu 5-10 menit semua warga mulai dari bayi, anak-anak, perempuan hamil, lansia, penyandang disabilitas, tuna netra dan penderita stroke bisa melarikan diri atau dievakuasi dari Carita ke shelter di Pasar Labuan?
Apakah kemudian ada tim atau pasukan khusus yang (akan) mengevakuasi warga dari daerah bencana ke shelter?