Dekan FISIP UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), Dr. Rinikso Kartono MSi menanggapi ancaman proxy war yang tengah dialami Indonesia. Menurutnya, HIV/AIDS menjadi ancaman tersendiri bagi keamanan dan stabilitas negara. Ini lead pada berita "Dekan Fisip UMM: HIV/AIDS Jadi Ancaman Proxy War" di timesindonesia.co.id (28/12-2018).
Sebagai virus HIV bukan wabah karena tidak bisa menular melalui udara, air dan makanan. Maka, yang jadi persoalan adalah perilaku seksual penduduk sehingga tidak bisa dijadikan alat untuk mengganggu keamanan dan stabilitas suatu negara dalam konteks proxy war (perang dengan memanfaatkan pihak ketiga).
Dalam jumlah yang bisa ditularkan dari pengidap HIV/AIDS kepada orang lain HIV hanya terdapat dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Penularan HIV melalui empat cairan ini harus melalui kegiatan yang sangat khas, yaitu: transfusi darah, hubungan seksual (di dalam dan di luar nikah), serta proses menyusui.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 1 Oktober 2018, menyebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2018 sebanyak 410.788 yang terdiri atas 301.959 HIV dan 108.829 AIDS dengan 15.855 kematian.
Yang perlu diingat adalah angka yang dilaporkan (410.788) tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Hal ini karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu jumlah kasus yang terdeteksi (410.788) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Dalam berita disebutkan: Menurutnya, virus yang mampu mematikan itu menjadi ancaman tersendiri bagi Indonesia di tengah ancaman proxy war.
Pernyataan ini tidak akurat karena HIV sebagai virus tidak menyebabkan kematian. Belum ada kasus kematian karena infeksi HIV. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS, secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV, karena penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik, seperti TB, diare, dll.
Maka, HIV tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk genosida (KBBI: pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras) karena tidak bisa ditularkan secara massal.
[Baca juga: Genosida di Tanah Papua dengan HIV/AIDS adalah Hal yang (Nyaris) Mustahil]
Maka, sebesar apa pun dampak HIV/AIDS penularannya tergantung kepada perilaku orang per orang di satu negara. Di negara-negara yang dianggap hidup dengan gaya bebas ternyata kasus HIV/AIDS di negara tsb. justru lebih sedikit daripada di negara dengan kehidupan yang diatur ketat dengan norma dan agama. Ini bisa terjadi karena ada penduduk negeri ini yang melakukan perilaku seksual berisiko di luar negaranya.
Adalah hal yang mustahil negara bisa mengawasi perilaku seksual semua penduduk karena hubungan seksual yang berisiko jadi media penularan HIV bukan hanya melalui hubungan seksual di luar nikah, seperti dengan pekerja seks komersial (PSK), tapi juga di dalam nikah. Itu sebabnya mantan Ketua Umum PB IDI, dr Kartono Mohamad, mengatakan bahwa yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS adalah masyarakat bukan dokter dan pemerintah.