Koordinator JIP Sumut: Nol Diskriminasi dan Stigma HIV/AIDS harus Tercapai. Ini judul berita di gosumut.com (19/11-2018). Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS, maka diskriminasi (perlakuan berbeda) dan stigma (cap buruk) ada di hilir artinya terjadi kepada warga yang (sudah) tertular HIV/AIDS. Dengan langkah ini sama saja dengan membiarkan warga tertular HIV/AIDS (dahulu) baru kemudian dicegah agar tidak mengalami diskriminasi dan stigmatisasi.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 1 Oktober 2018, menyebutkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Utara mencapai 19.728 yang terdiri atas 15.812 HIV dan 3.916 AIDS. Dengan jumlah ini Sumut menempati peringkat ke-7 secara nasional dalam jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS.
Yang perlu diingat adalah jumlah yang dilaporkan yaitu 19.728 tidak menggambarkan jumlah kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi (19.728) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Di bagian lain disebutkan oleh Koordinator Jaringan Indonesia Positif (JIP) Sumut dan Kota Medan, Samara Yudha Arfianto: "Yaitu tidak ada lagi penularan HIV, tidak ada lagi kematian akibat AIDS, dan tidak ada lagi stigma dan diskriminasi, baik pada ODHA, populasi kunci maupun kelompok rentan."
Bagaimana caranya tidak ada lagi penularan HIV, Samara?
Dalam berita tidak ada penjelasan yang konkret tentang langkah yang dilakukan agar tidak ada lagi penularan HIV.
Selama kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat tidak terdeteksi, maka selama itu pula insiden penularan HIV baru secara horizontal antar penduduk akan terjadi, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penularan terjadi tanpa disadari karena warga yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadari mereka sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.
Insiden infeksi HIV baru pun akan tetap dan terus terjadi selama (masih) ada laki-laki dan perempuan yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, al. (a) laki-laki dan perempuan yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah atau kawin-certai; dan (b) laki-laki yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung.
Laki-laki dan perempuan yang tertular HIV melalui perilaku di atas akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat jika mereka tidak terdeteksi.
Dengan menyebutkan "tidak ada lagi kematian akibat AIDS" akan menguatkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yaitu disebutkan kematian karena HIV/AIDS. Penyebutan yang lebih tepat adalah "tidak ada lagi kematian terkait dengan HIV/AIDS".
Dikatakan lagi oleh Yudha: diskriminasi dalam penanggulangan HIV masih menjadi tantangan besar. Apalagi beberapa waktu lalu ada lima anak yang positif HIV di Samosir, dan Medan yang tidak diperbolehkan bersekolah seperti anak-anak lainnya oleh masyarakat sekitar.