Berita tentang kematian pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Situbondo, Jatim, sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan epidemi HIV/AIDS.
Pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Situbondo, Abu Bakar Abdi, dalam berita Dalam Setahun, 60 Penderita HIV/AIDS di Situbondo Meninggal Dunia (jatim.tribunnews.com, 1/8-2018) sama sekali tidak dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS.
Disebutkan sepanjag tahun 2017 dari 200 kasus yang terdeteksi 60 di antaranya meninggal dunia. Informasi ini sama sekal tidak berguna dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Pertama, tidak ada penjelasan tentang penyakit yang menyebabkan kematian 60 pengidap HIV/AIDS tsb. Informasi ini penting agar masyarakat paham bahwa yang mematikan bukan HIV atau AIDS atau HIV/AIDS, tapi ada penyakit lain yang terjadi di masa AIDS (masa AIDS secara statistik terjadi pada rentang waktu antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Kedua, sebelum meninggal dunia 60 pengidap HIV/AIDS tsb., kecuali bayi dan anak-anak, kemungkinan sudah menularkan HIV ke orang lain.
Jika ada di antara yang 60 pengidap HIV/AIDS tsb. pekerja seks komersial (PSK), maka sebelum meninggal dia sudah melayani hubungan seksual tanpa kondom dengan ratusan bahkan ribuan laki-laki. Kalau rata-rata setiap malam seorang PSK melayani 3 laki-laki, maka sebelum meninggal sudah ada 3.600 -- 10.800 laki-laki yang berisiko tertular HIV [1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x (5 atau 15) tahun.
Kalau di antara 60 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada laki-laki dewasa, maka ada satu orang perempuan yaitu istrinya yang berisiko tertular HIV. Kalau laki-laki itu beristri lebih dari satu, maka kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV.
Jika di antara 60 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada ibu rumah tangga, maka ada risiko penularan H IV kepada bayi yang dikandungnya. Probabilitas penularan secara vertikal lebih dari 30 persen jika selama hamil tidak ditangani oleh dokter.
Kalau di antara 60 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada waria, maka ada pula sekian laki-laki heteroseksual pelanggan waria yang berisiko tertular HIV.
Jika di antara 60 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada laki-laki biseksual, maka istri dan pasangan seks laki-laki berisiko tertular HIV.
Kalau saja Abu Bakar Abdi dan wartawan yang meliput dan menulis berita ini memahami epidemi HIV/AIDS sebagai fakta medis, maka berita yang ditulis adalah menggambarkan realitas sosial terkait dengan kematian 60 pengidap HIV/AIDS tsb. Bukan sekedar menonjolkan angka tapi tidak bermakna karena lebih ke arah sensasi.