Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Nasib Peserta BPJS Kesehatan yang Terpaksa Menunggu Obat

Diperbarui: 9 Agustus 2018   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Pribadi

Usia memasuki Lansia (lanju usia) ada juga yang menyebut sebagai Manula (manusia lanjut usia) fasilitas kesehatan tergantung kepada BPJS Kesehatan yang bagi pensiunan merupakan leburan Askes (Asuransi Kesehatan).

Peserta BPJS Kesehatan yang berasal dari Askes membayar premi puluhan tahun bahkan setelah pensiun pun tetap bayar premi melalui pemotongan uang pensiun. Sebagian peserta (baru) BPJS Kesehatan ada yang baru bayar premi satu kali sudah menjalani pengobatan dengan biaya puluhan juta rupiah.

"Susah diberitahu, Pak," kata seorang dokter di sebuah klinik yang kerja sama dengan BPJS Kesehatan di bilangan :Pisangan Timur, Jakarta Timur, tentang ulah sebagian peserta yang datang berobat dengan kondisi keanggotan dihentikan karena tidak bayar premi setelah selesai perawatan. Rupanya, biar pun keanggotaan dihentikan mereka tetap memaksa berobat.

Itu terjadi karena keanggotan BPJS Kesehatan semula bisa orang per orang. Bahkan, bisa diurus ketika seseorang sudah dirawat menjelang operasi.

Sekarang kebijakan baru kepesertaan BPJS Kesehatan harus per keluarga sehingga tidak bisa lagi membayar premi orang per orang.

"Maaf, Pak, obat ini lagi kosong," kata karyawan sebuah apotek di Jakarta Timur yang jadi tempat peserta BPJS Kesehatan menebus obat. Dulu diberikan secarik kertas seukuran kartu nama sebagai tanda 'kekurangan obat'. Belakangan kalau ada obat yang kosong yang diberikan adalah copy resep.

Untuk memastikan obat kita harus telepon berulang kali. Bahkan, dua bulan terakhir ini ada obat yang belum ada yaitu Adalat oros 20 mg.

Ada kabar bahwa obat itu diproduksi di Jerman dan dibungkus di Indonesia. "Maaf, Pak, masih kosong." Itulah jawaban dari apotek tadi setiap kali ditelepon.

Tidak ada jalan lain selain membei obat tsb. karena memang perlu untuk yang darah tinggi. Di apotek harganya berkisar Rp 90.000-an per bungkus (10 butir). Di Pasar Jatinegara harganya berkisar Rp 70.000 per bungkus. Itu artinya harus beli tiga bungkus untuk dosis satu bulan.

Obat itu ternyata bermerek "Bayer" yang mempunyai pabrik obat di Indonesia. Tidak jelas apakah BPJS Kesehatan berhubungan dengan pabrik di Jerman atau dengan "Bayer" di Indonesia.

Yang jelas obat itu ada di apotek dan pasar bebas di toko-toko obat di banyak tempat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline