"KM Sinar Bangun" yang tenggelam di perairan Danau Toba, Sumatera Utara (18/6-2018) bisa jadi pelajaran berharga bagi calon penumpang yang sering marah-marah, bahkan anarkis, jika syahbandar tidak memberikan izin berlayar. Begitu juga dengan delay kapal terbang sering jadi sasaran amarah calon penumpang.
Transportasi darat dan laut nasional sebagian besar belum sepenuhnya mengedepankan 'Utamakan Keselamatan' (Safety First). Angkutan umum sering kecelakaan dengan alasan rem blong. Apakah benar rem blong terjadi dengan tiba-tiba?
Selain karena kelebihan muatan KM Sinar Bangun mengabaikan prakiraan cuaca. Akibatanya, 30 menit setelah berlayar dari Dermaga Simanindo, Kabupaten Samosir, menuju Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, kapal nahas itu dihantam angin kencang dan gelombang.
Padahal, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Medan sudah mengirimkan laporan prakiraan cuaca berupa cuaca ekstrem di perairan Danau Toba ke berbagai pihak otoritas terkait dengan penerbangan dan pelayaran pada tangga 18 Juni 2014 pada pukul 11.00 WIB dan pukul 14.00 WIB. Catatan BMKG pada jam pelayaran kapal tsb. akan ada angin kencang dengan kecepatan 12 knot yang bisa memicu ombak setinggi 75 cm -- 1,25 meter. Bahkan, BMKG memperkirakan jelang pukul 17.00 WIB kecepatan angin akan meningkat dari dua sampai tiga meter per detik di perairan Samosir (cnnindonesia.com, 20/6-2016).
Kecelakaan kapal terbang pun pernah terjadi karena mengabaikan prakiraan cuaca BMKG, seperti yang dialami penerrbangan AirAsia QZ8501 jenis Airbus A320 dengan registrasi PK-AXC yang jatuh 28 Desember 2014 di perairan Laut Jawa ternyata tidak membawa prakiraan cuaca yang dikeluarkan BMKG. Kapal terbang itu lepas landas dari Surabaya pukul 05.30 dengan tujuan Singapura. Laporan cuaca berdasarkan citra satelit menyebutkan wilayah di Indonesia berawan dan berpotensi tumbuh awan kumulonimbus (nasional.tempo.co, 2/1-2015).
Sering terjadi calon penumpang kapal laut marah-marah ketika syahbandar melarang kapal berlayar. Celakanya, laporan wartawan melalui media massa (cetak dan elektronik) dan media sosial justru provokatif dengan menyebut 'penumpang terlantar', penumpang kesal, dll.
Seorang calon penumpang kapal laut yang akan berlayar dari Gresik, Jawa Timur, ke Pulau Bawean, di Laut Jawa, Jawa Tenghah, mengatakan kepada wartawan, jika gelombang laut di atas 2 meter, calon penumpang bisa memaklumi. Namun saat ini gelombang laut masih bersahabat. Sehingga menjadi pertayaan bagi calon penumpang (pojokpitu.com, 10/2-2018). Pendapat calon penumpang ini tentu saja tidak bisa jadi patokan karena syahbandar berpegang pada laporan BMKG sesuai dengan standar operasi baku yang diluarkan Kementerian Perhubungan RI.
Ada baiknya syahbandar memberikan penjelasan kepada calon penumpang tentang kondisi dan prakiraan cuaca yang dikeluarkan BMKG agar calon penumpang paham. Soalnya, ada juga kasus biar pun ada larangan berlayar tapi ada pengecualian terhadap kapal tertentu. Ini juga bisa memicu amarah calon penumpang.
Terkait dengan kondisi calon penumpang yang menunggu diberangkatkan tentulah bukan tanggung jawab perusahaan pelayaran karena harga tiket yang dibayar berlaku sejak naik ke atas kapal. Jika terjadi pembatalan pelayanan karena cuaca buruk dengan kondisi syahbandar tidak memberikan izin tidak jelas pihak mana yang bertanggung jawab terhadap (calon) penumpang.
Otoritas pelabuhan hanya menyediakan loket penjualan tiket bukan tempat penampungan calon penumpang yang batal berlayar sehingga akomodasi juga bukan urusan otoritas pelabuhan.
Dalam kaitan inilah perlu regulasi tentang pihak yang bertanggung jawab terhadap calon penumpang kapal laut ketika syahbandar tidak mengeluarkan izin berlayar karena cuaca atau alasan teknis lain yang terkait dengan keselamatan penumpang.