Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Penyakit Pelaku Kejahatan Seksual Tidak Perlu Dipublikasikan

Diperbarui: 9 Juni 2018   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: healthline.com)

Informasi tentang risiko tertular penyakit dari pelaku ke korban kejahatan seksual tidak perlu disebarkan melalui media massa, media online dan blog karena akan menambah derita korban. Apalagi disebut ada risiko tertular HIV/AIDS ini membuat orang tua dan korban menderita karena harus menunggu tiga bulan baru bisa menjalani tes HIV.

Tapi, dalam berita Kriminalitas, Polisi Tangkap Guru SD di Depok Pelaku Kejahatan Seksual di Harian Kompas (7/6-2018) justru ada pernyataan ini: Selain itu, Wa akan menjalani tes kesehatan. Pelaku kejahatan seksual dikhawatirkan mengidap virus HIV/AIDS. Pemeriksaan psikologis juga akan dilakukan untuk menganalisis kondisi kejiwaan Wa.

Wa, 24 tahun, guru Bahasa Inggris di SD Negeri 10 Tugu, Cimanggis, Jawa Barat, ditangkap polisi karena ada pengaduan dari murid dan orang tua ke polisi tentang kejahatan seksual yang dilakukan Wa yaitu menyodomi belasan siswa di SD itu.

Jika polisi melakukan tes HIV terhadap Wa dan hasilnya positif itu artinya siswa-siswa SD yang jadi korban Wa harus menjalani tes HIV. Agar hasil tes HIV akurat tes HIV terhadap anak-anak itu baru bisa dilakukan minimal tiga bulan setelah disodomi terakhir.

Kalau informasi ini sampai ke korban dan orang tuanya tentulah mereka akan gelisah. Sebagai pengasuh "Tanya Jawab AIDS" penulis sering menerima keluhan dari orang-orang yang baru melakukan perilaku berisiko tertular HIV yaitu galau, takut, gelisah, dll. yang sangat berat ketika dikatakan tes HIV baru akurat hasilnya tiga bulan ke depan.

Mereka bertanya apa yang bisa mereka lakukan agar virus (HIV) tidak terdeteksi waktu tes HIV. Tentu saja tidak ada karena ketika virus sudah masuk ke aliran darah, maka HIV pun akan mereplikasi diri di sel-sel darah putih orang yang tertular HIV tersebut.

Dalam kaitan itulah selayaknya polisi dan pihak-pihak terkait tidak perlu memberikan keterangan yang berlebihan, seperti pemeriksaan kesehatan terkait HIV/AIDS. Soalnya, ada saja media yang membesar-besarkan isu itu sebagai berita yang sensasional tanpa memperhatikan kondisi korban dan keluarganya.

Langkah untuk melakukan tes HIV sudah benar, tapi tidak perlu dipublikasikan karena akan menambah derita korban dan keluarganya karena mereka tahu persis ada risiko penularan HIV/AIDS ke korban. Maka, informasi tentang penyakit menular pelaku dan risiko penularan ke korban cukup diberitahukan ke orang tua oleh orang-orang berpengalaman, seperti konselor agar tidak menimbulkan kepanikan.

Informasi yang perlu digali dari Wa adalah perilaku seksualnya selain dengan murid-muridnya. Jika Wa juga melakukan hubungan seksual dengan perempuan atau laki-laki selain anak-anak itu berarti Wa termasuk orang dengan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS dan IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai 'penyakit kelamin', yaitu kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.]. Polisi jangan terpaku pada HIV/AIDS saja karena IMS jauh lebih mudah menular.

Pedofilia adalah laki-laki dewasa yang tertarik secara seksual kepada anak-anak, laki-laki dan perempuan, umur 7-12 tahun dengan modus yang tidak memaksa dengan kekerasan. Ada yang menjadikan korban sebagai anak angkat, anak asuh, anak didik sampai istri.

Pedofilia termasuk salah satu bentuk parafilia dengan deviasi orientasi seksual yaitu orang-orang yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara yang lain. Infantofilia ke bayi (umur 0-7 tahun), pedofilia ke anak-anak (7-12 tahun). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline