"Namun di sisi lain, perilaku seks menyimpang dari masyarakat menjadi pemicu utama meningkatnya penyebaran virus mematikan ini." Ini ada dalam berita "Kasus HIV/AIDS di Papua Tembus 35 Ribu" (pasificpos.com, 23/5-2018).
Epidemi HIV/AIDS di Indonesia yang diakui pemerintah sudah ada sejak April 1987 berdasarkan kasus kematian turis Belanda, seorang gay, yang meninggal karena penyakit terkait AIDS di RS Sanglah Denpasar, Bali (Baca juga: Kapan, Sih, Awal Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia?).
Penyangkalan
Pemerintah waktu itu pun menjadikan kematian gay ini sebagai materi sosialisasi AIDS dengan menyebutnya sebagi penyakit akibat 'perilaku menyimpang', penyakit bule, penyakit homoseksual, penyakit orang asing, dll. Inilah mitos (anggapan yang salah).
Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, biseksual) dan sifat hubungan seksual (di luar nikah), tapi karena kondisi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom.
Biar pun informasi HIV/AIDS yang objektif sudah banjir, tapi tetap saja banyak kalangan yang tetap memakai 'kaca mata kuda' sehingga cara berpikirnya tentang HIV/AIDS tidak berubah. Media massa nasional pun banyak yang tetap berpijak pada informasi yang dibalut dengan moral itu sehingga terjadi 'misleading' (menyesatkan).
Terkait dengan HIV/AIDS di Papua tidak jelas apa yang disebut sebagai 'perilaku seks menyimpang dari masyarakat'. Risiko laki-laki tertular HIV/AIDS yang potensial melalui hubungan seksual adalah sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi tidak memakai kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK).
Kalau yang dimaksud 'perilaku seks menyimpang dari masyarakat' adalah hubungan seksual dengan PSK, maka persoalan bukan karena menyimpang tapi karena laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Celakanya, ada kecenderungan di Papua yang menyangkal perilaku seksual sebagian orang dengan menyalahkan PSK dan menyebutnya sebagai genosida. Inilah pangkal epidemi HIV karena tidak melihat kesalahan pada diri sendiri tapi menyalangkah orang atau pihak lain (Baca juga: AIDS di Papua: Penyangkalan Terhadap Perilaku Seksual Laki-laki Papua dan AIDS di Papua Bukan Genosida).
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua drg. Aloysius Giyai, M.Kes, mengatakan: Ya, ada peningkatan, karena masyarakat semakin menyadari dengan sendirinya datang untuk melakukan tes VCT untuk mendeteksi risikonya terhadap HIV.
Yang meningkat atau bertambah adalah jumlah warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS berdasarkan hasil tes HIV di klinik-klinik VCT (tempat tes HIV sukarela dengan konseling) di puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Sedangkan kasus baru tidak bisa dideteksi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).