"36 Pengidap HIV/AIDS Meninggal." Ini judul berita di aceh.tribunnews.com (26/4-2018) tentang kasus HIV/AIDS di Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Sekilas judul berita ini tidak bermakna karena memberitakan kejadian rutin.
Tapi, kalau disimak dari aspek epidemiologi HIV/AIDS ada persoalan besar di balik data tsb., yaitu sebelum meninggal ada kemungkinan 36 pengidap HIV/AIDS itu sudah menularkan HIV ke orang lain. Pengidap HIV/AIDS yang meninggal ini merupakan bagian dari 83 pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi di Aceh Utara.
Dalam berita tidak dijelaskan latar belakang 36 pengidap HIV/AIDS di Aceh Utara yang meninggal serta penyakit penyebab kematian mereka. Dengan 36 kematian dari 83 pengidap HIV/AIDS itu artinya tingkat kematian yang mencapai 43,4 persen sangat tinggi (Baca juga: Siapa yang Bawa HIV/AIDS ke Aceh?).
Yang jelas kalau yang meninggal laki-laki beristri, maka ada kemungkinan terjadi penularan kepada istrinya. Kalau yang meninggal seorang perempuan, itu artinya ada kemungkinan penularan terhadap suami atau laki-laki pasangan seksualnya.
Dalam berita disebutkan: " .... 36 orang di antaranya sudah meninggal dunia, yang diduga karena tidak rutin mengonsumsi obat sesuai anjuran petugas."
Pernyataan ini tidak akurat karena kematian pada pengidap HIV/AIDS bukan karena HIV atau AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang muncul di masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Kalau yang dimaksud " .... tidak rutin mengonsumsi obat .... " adalah obat antiretroviral (ARV), maka yang teradi adalah penuruan kekebalan tubuh sehingga mudah kena penyakit.
Ini data yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Aceh Utara, dr Makhrozal: "Jumlah wanita yang terkena HIV/AIDS 38 orang, diduga karena terjangkit dari suaminya. Sedangkan laki-laki yang terjangkit sudah mencapai 48 orang."
Jika 38 wanita pengidap HIV/AIDS itu hamil, maka ada risiko penularan (vertikal) ke bayi yan dikandungnya kelak. Penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa terjadi selama dalam kandungan, saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Kalau 38 wanita ini tidak ditangani secara medis, maka risiko penularan ke bayi yang dikandung mencapai 30 persen, tapi kalau ditangani dokter sejak sebelum hamil dan saat persalinan dan mengganti ASI, maka penularan bisa ditekan sampai nol persen.
Dengan 48 laki-laki pengidap HIV/AIDS ada 38 wanita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang 38 wanita pengidap HIV/AIDS apakah suami mereka sudah menjalani tes HIV. Kalau suami 38 wanita itu tidak menjalani tes HIV, maka mereka akan jadi mata rantai penularan HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kalau ada di antara laki-laki itu yang beristri lebih dari satu, itu artinya jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS pun kian banyak.
Dengan kondisi di atas yang perlu dilakukan oleh Pemkab Aceh Utara adalah membuat regulasi, bisa dalam bentuk peraturan bupati (Perbup) atau peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami perempuan yang hamil untuk menjalani konseling HIV/AIDS. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksual suami berisiko, maka dirujuk untuk menjalani tes HIV. Istrinya pun menjalani tes HIV dan mengikuti program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.