Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Wartawan Tanpa Berita

Diperbarui: 29 Maret 2018   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: kupastuntas.co)

Jika ada pemberian penghargaan bagi orang-orang yang disebut-sebut berjasa untuk pers (khususnya media cetak), dengan sebutan 'tokoh pers nasional', terkadang menimbulkan pertanyaan tentang kompetensi orang tsb. dalam dunia jurnalistik. Apakah orang tsb. memenuhi kriteria sebagai wartawan?

Maka, berita di Harian "KOMPAS" (29/3-2018): "Syarat Dewan Pers Berisiko Jegal Jurnalis" jadi penting karena wartawan sebagai salah satu dari dua profesi yang diakui dunia, yang lain adalah pengacara, sudah disalahgunakan oleh pemilik uang. Mereka membeli SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan SIT (Surat Izin Tjetak) di masa Orde Baru dan langsung jadi pemimpin redaksi.

Padahal, sebelum reformasi peraturan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) menyebutkan pemimpin redaksi media massa haruslah pemegang kartu pers PWI kualifiasi anggota biasa. Kualifikasi ini diperoleh melalui jenjang: mendaftar sebagi calon anggota selama 6 bulan (PWI akan mengamati apakah media massa tsb. terbit sesuai ketentuan selama 6 bulan), setelah lolos ikut ujian untuk jadi calon anggota. Dua tahun kemudian ujian lagi untuk kualifikasi anggota muda (punya hak pilih tapi tidak bisa dipilih jadi pengurus PWI Pusat dan cabang). Setelah angtota muda dua tahun kemudian, jika media ybs. rutin terbit, ujian untuk kualifikasi anggota biasa (bisa dipilih dan memilih jadi pengurus PWI Pusat dan cabang).

Dengan fenomena pembelian SIUPP dan SIT itu sering terdengar keluhan bahwa ada 'perintah' dari pemerintah (baca: Departemen Penerangan/Deppen) untuk memberikan status anggota biasa istimewa untuk orang-orang tertentu yang membeli SIUPP dan SIT agar bisa jadi pemimpin redaksi.

Celakanya, setelah reformasi kondisinya tidak lebih baik. Malah jauh lebih buruk karena tidak ada lagi persyaratan khusus untuk menerbitkan media cetak dan medi online. Hanya perlu badan hukum (PT). Maka, semua orang pun bisa jadi pemimpin redaksi nir kemampuan menulis berita.

Seperti yang diberitakan "KOMPAS" persyaratan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) yang hanya membutuhkan fotocopy Kartu Pers yang masih berlaku dan surat keterangan dari pemimpin redaksi. Maka, siapa pun bisa mengikuti UKW karena saat ini kartu pers bertebaran di masyarakat karena tidak ada persyaratan khusus untuk menerbitkan media cetak dan online.

Maka, amatlah benar cara yang dilakukan banyak media di luar negeri yaitu pada setiap berita dicantumkan nama wartawan (dikenal sebagai "by line") yang menulis berita tsb. Ini sesuai dengan defenisi wartawan pada UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers di pasal 1 ayat 4: Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Nah, kalau ada orang yang karena uang jadi pemimpin redaksi dan mempunyai kartu pers media yang dipimpinnya: Tapi tidak pernah menulis berita, apakah masuk kategori wartawan seperti yang diamanatkan oleh UU Pers?

Apakah pemimpin redaksi harus dipegang oleh wartawan?

Ya. Kalau pemimpin perusahaan boleh saja pemilik modal dan tidak pula boleh pegang kartu pers karena urusannya perusahaan bukan manajemen berita.

Celakanya, tidak ada mekanisme yang bisa mengungkap seperti apa kualitas dan kualifikasi pemimpin redaksi itu atau orang-orang yang menerima penghargaan di bidang pers (jurnalistik).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline