Tagar (hastag) #metoo yang diluncurkan di media sosial pada Oktober 2017 untuk mencela dan sebagai lambang perlawanan terhadap laki-laki yang memakai kekuasan secara telanjang (naked power) untuk melakukan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Pada kurun waktu Oktober-Desember 2017 #me too sudah dipakai lebih dari 6 juta kali di Twitter dan Facebook.
Gerakan itu muncul ke permukaan setelah ada tuduhan kekerasan seksual yang dilakukan oleh produser film Hollywood, Harvey Weinstein. Sejak diluncurkan "pengakuan" pun beruntun dari berbagai kalangan, terutama dari industri musik dan film.
Jika dilihat dari aspek kekuasaan perlakuan terhadap perempuan-perempuan tersebut, peristiwa kekerasan seksual merupakan relasi yang tidak sebanding antara laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan perempuan sebagai pihak yang voiceless dan powerless.
"BBC" (2/1-2018) merilis berita "Time's Up" peluncuran program kampanye perempuan untuk melawan pelecehan seksual di lingkungan industri film dan tempat-tempat kerja lain yang didukung oleh 300 aktor, aktris, penulis dan sutradara. Kampanye ini dirilis di Harian "The New York Times".
Relasi kekuasaan yang timpang ini jadi senjata bagi laki-laki yang memegang kekuasaan untuk memenuhi hasrat libido mereka. Celakanya, kondisi itu jadi berkembang sebagai salah satu bentuk gratifikasi (pemberian sebagai imbalan) dalam jejaring kekuasaan, korupsi, suap dan bisnis.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara khsusus menjadikan gratifikasi sebagai bagian dari unsur yang terkait dengan suap dan korupsi. Sanksi pidana terkait gratifikasi diatur pada Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001 yaitu pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Sanksi hukum bisa lepas kalau gratifikasi dilaporkan.
Yang jadi masalah jika gratifikasi dalam bentuk layanan seks berupa cewek. Dalam epidemi HIV/AIDS cewek gratifikasi juga jadi masalah besar karena dianggap bukan pekerja seks komersial (PSK). Padahal, dalam prakteknya cewek gratifikasi seks sama saja dengan pelacur atau PSK.
Relasi kekuasaan yang timpang inilah yang dimanfaatkan oleh laki-laki untuk mendapatkan layanan seks. Misalnya, atasan dengan bawahan di instansi dan institusi serta perusahaan. Tidak sedikit pula laki-laki yang memakai cara-cara tertentu agar layanan seks tidak melawan ketentuan.
Biar pun perempuan ada pada posisi powerless dan voiceless, tapi sebagai korban pelecehan dan kekerasan seksual perempuan selalu ada di pihak yang salah dan disalahkan.
Seorang remaja perempuan berumur 14 tahun di Bengkulu diperkosa oleh belasan laki-laki remaja dan dewasa yang kemudian membunuh perempuan itu tetap saja korban yang salah. Bahkan, ada menteri perempuan yang menyalahkan orang tua korban. Menteri perempuan yang lain membela pelaku dengan alasan karena pengaruh pornografi dan miras (Baca juga: Publikasi Motif Kejahatan di Media Massa Jadi Inspirasi: "Saya Memerkosa Karena Pengaruh Miras dan Pornografi, Bu M**t**i ....").
Sebagai makhluk yang disebut-sebut "perkasa", mengapa kemudian laki-laki memakai kekuasaan secara telanjang dalam kondisi relasi yang tidak seimbang untuk menyalurkan libido? Maka, sudah saatnya dibuat UU untuk menjerat laki-laki yang memakai "naked power" untuk kepuasaan seks (Baca juga: Mendesak, UU yang Lindungi Perempuan dari Kejahilan dan Kejahatan Laki-laki).
Boleh-boleh saja menyebut diri "perkasa" realitas sosial menunjukkan toko-toko obat kuat (seks) hanya menjual obat kuat untuk keperkasaan laki-laki. Penulis belum pernah menemkan iklan, selebaran dan toko obat yang menjual obat perkasa untuk perempuan. *