Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

AIDS di Indramayu: Gay Bukan Agen Penyebar HIV di Masyarakat

Diperbarui: 24 Oktober 2017   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: huffingtonpost.com

Mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama terjadi karena banyak laki-laki dewasa heteroseksual (laki-laki ke perempuan dan sebaliknya) yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga merupakan salah satu indikator penyebaran HIV oleh laki-laki dewasa.

Maka, amatlah tidak masuk akal kalau kemudian di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, disebutkan bahwa gay (laki-laki yang tertarik secara seksual ke laki-laki, disebut LSL yaitu Lelaki Suka Seks Lelaki) memicu penyebaran HIV/AIDS. Seperti yang dikatakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, Deden Bonni Koswara, ini; "Kelompok LSL jelas memicu penyebaran HIV-AIDS." (republika.co.id/23/10-2017).

Disebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indramayu sejak 1993 sampai pertengahan Oktober 2017 mencapai 2.737 yang terdiri atas 1.165 HIV dan 1.572 AIDS dengan 273 kematian. Tidak disebutkan faktor risiko (cara penularan) kasus-kasus HIV/AIDS tersebut.

LSL ada dalam kelompok atau komunitas mereka yang tidak bersentuhan secara seksual dengan masyarakat. Itu artinya penyebaran HIV terjadi di komuntas mereka sendiri. Kalau pun ada yang masuk ke komunitas mereka adalah segelintir laki-laki biseksual.

Yang potensial menjadi penyebar HIV/AIDS di masyarakat adalah laki-laki heteroseksual yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami yang mempunyai istri, bahkan ada yang beristri lebih dari satu. Ada juga laki-laki heteroseksual yang mempunyai pasangan seks lain, seperti selingkuhan dan PSK.

Ketika ada seorang laki-laki heteroseksual yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi, maka tanpa mereka sadari mereka jadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal terutama kepada istrinya dan pasangan lain di dalam dan di luar nikah. Jika istrinya tertular HIV, maka ada risiko penularan (vertikal) kepada bayi yang dikandung, terutama pada saat persalinan dan menyusu dengan air susu ibu (ASI).

Sumber: avert.org

ilus-aids-indramayu-59ee7d2f96bb0860b859e102.jpg

Itulah sebabnya diperlukan regulasi yang konkret dan realistis untuk mendeteksi kasus-kasus HIV/AIDS di masyarakat agar mata rantai penyebaran diputus. Celakanya, peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS yang dikeluarkan Pemkab Indramayu sama sekali tidak memberikan langkah-langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru dan penanggulangan epidemi HIV (Perda AIDS Indramayu: Tidak Menukik ke Realitas Sosial terkait HIV/AIDS).

Dalam berita disebutkan: "Mereka pun diminta untuk menghentikan perilaku menyimpang tersebut." Pernyataan ini berpijak pada mitos (anggapan yang salah) dengan pijakan moral.

Penularan HIV melalui hubungan seksual (vaginal, anal dan oral) terjadi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom), bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, homoseksual, dll).

Disebutkan pula bahwa selain LSL, peningkatan tren penderita HIV-AIDS juga terjadi pada kelompok ibu rumah tangga, yang tertular oleh suaminya yang kerap jajan di luar. Justru ini yang jadi masalah besar karena ada risiko penularan terhadap bayi. HIV di kalangan gay ada di komunitas mereka sendiri, sedangkan HIV/AIDS pada laki-laki dewasa potensial sebagai mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Ada pernyataan "yang kerap jajan di luar". Itu fakta bahwa di Indramayu ada praktek prostitusi biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran. Celakanya, pemerintah setempat dan banyak kalangan menepuk dada dengan mengatakan tidak ada pelacuran di daerahnya hanya karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang ditangani dinas sosial seperti di masa Orba.

Transaksi seks sebagai praktek pelacuran (prostitusi) terjadi setiap saat dan di sembarang tempat dengan berbagai cara mulai dari memakai komunikasi telepon, media sosial dan mucikari. Transaksi ini tidak bisa dijangkau karena tidak kasat mata, tapi risiko penularan dan penyebaran HIV terjadi tanpa bisa ditangani yang pada gilirannya HIV/AIDS terdeteksi pada ibu-ibu hamil dan bayi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline