Untuk menekan angka perceraian di Indonesia disebutkan oleh Hakim Binsar Gultom dapat dilakukan dengan cara calon mempelai perempuan menjalani tes keperawanan. Pak Hakim ini pun sampai pada kesimpulan bahwa jika istri tidak perawan ketika menikah bisa jadi pemicu perceraian.
Pertama, Pak Hakim ini sudah memberikan panggung dan pembenaran kepada laki-laki bahwa calon mempelai laki-laki boleh tidak perjaka. Itu artinya kalau laki-laki calon mempelai bukan duda, maka laki-laki ini sudah melakukan perzinaan.
Dari enam hal yang bisa jadi alasan perceraian seperti diatur di pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Nah, seorang calon suami yang sudah pernah melakukan zina sebelum menikah, apakah pernikahan bisa dilanjutkan?
Kedua, fakta menunjukkan perceraian di Pengadilan Agama justru lebih banyak gugat cerai yang perceraian yang digugat oleh istri dengan beragam alasan.
Berdasarkan analisis data dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag MA), Komnas Perempuan menemukan fakta bahwa dari tahun ke tahun jumlah istri yang menggugat cerai suami terus bertambah (detiknews, 18/11-2016). Di Pengadilan Agama Padang, Sumatera Barat, misalnya, pada tahun 2015 angka cerai talak 23 sedangkan cerai gugat 95 (sumbar.kemenag.go.id, 29/5-2017),
Tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong dan Taiwan banyak yang gugat cerai suami seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Ketika ekonomi sudah dipenuhi istri (baca: TKW) suami tidak bekerja. Ada pula suami selingkuh. Tahun 2014 dari 2.091 kasus perceraian cerai gugat 1399 dan cerai talak 692. Tahun 2015 cerai gugat 1.397 dan cerai talak 618. Sampai September 2016 kasus perceraian di Ponorogo mencapai 1.670 dengan rincian cerai gugat 1.137 dan cerai talak 533 (jambi.tribunnews.com, 31/10-2016).
Ketiga, ketika norma dan moral dikedepankan, muncullah ironi. Seperti anjuran tes HIV sebelum menikah yang hanya ditujukan kepada calon mempelai laki-laki. Ini bertolak belakang dengan usul tes keperawanan karena salah satu cara penularan HIV adalah melalui hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Dalam kaitan ini daerah-daerah yang mengharuskan tes HIV sebelum menikah sudah melakukan pembenaran bahwa calon mempelai perempuan yang bukan janda tidak pernah melakukan hubungan seksual sebagai salah satu cara penularan HIV. Sebaliknya, calon mempelai laki-laki sudah dihukum sebagai orang yang sudah pernah melakukan hubungan seksual ("Tes HIV bagi Calon Mempelai Laki-laki Pembuktian Laki-laki Tidak Perjaka").
Keempat, saran atau anjuran Pak Hakim ini jelas merupakan perbuatan yang bias gender dan diskriminasi (perlakuan berbeda). Di ranah hukum ini menjadi perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) ["Tes Keperawanan adalah Diskriminasi"].
Dengan anjuran atau ketentuan agar calon mempelai perempuan yang bukan janda melakukan tes keperawanan merupakan faktor pendorong untuk menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Ini merendahkan martabat perempuan dari aspek kemanusiaan, sementara calon mempelai laki-laki yang bukan duda yang tidak ada jaminan perjaka ditempatkan sebagai "orang yang suci".
Agar tercapai asas keadilan, maka bukan hanya untuk pernikahan tapi untuk semua aspek yang menyaratkan tes keperawanan maka laki-laki juga menjalani tes keperjakaan. Jika teknologi medis tidak bisa membuktikan keperjakaan, tentu bisa dilakukan dengan cara memakai alat lie detector dan konseling psikologis.