"Yasonna Akui Remisi untuk Hemat Anggaran dan Atasi Kelebihan Kapasitas Lapas"
Itulah judul berita di KOMPAS.com (19/8-2017). Pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H Laoly, ini menimbulkan beberapa pertanyaan yang sangat mendasar terkait dengan pembinaan di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Warga binaan (d/h. narapidana/napi) yang dikirim hakim melalui vonis pada sidang pengadilan negeri ke Lapas tidak hanya semata-mata sebagai hukuman atas perbuatan yang melawan hukum sesuai dengan UU, tapi juga disertai dengan pembinaan, Seperti disebukan Yasonna, "Saya kira kalau orang sudah baik, manusia pasti ada pertobatan. Karena permasyarakatan kita memang arahnya untuk membina dan untuk orang bertobat."
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pemberian remisi (pengurangan hukuman) sudah diperhitungkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk pembinaan warga binaan?
Soalnya, seperti dikatakan Yasonna pemberian remisi karena ada upaya Kemenkumham, dalam hal ini Ditjen Pemasyarakatan (Ditjen PAS), untuk menghemat biaya dan mengurasi kelebihan warga binaan dan tahanan yang sudah melebihi kapasitas Lapas. Disebutkan pemberian remisi menghemat anggaran lapas sampai Rp 102 miliar.
Yasonna berkelit dengan mengatakan bahwa remisi adalah adalah hak setiap warga binaan yang telah memenuhi syarat untuk mendapatkan remisi. Jika remisi tidak diberikan, maka pemerintah sama saja melanggar hak warga binaan.
Disebutkan jumlah warga binaan di lapas seluruh Indonesia saat ini berjumlah 226.143 yang terdiri atas 156.613 narapidana dan 69.530 tahanan. Di sembilan Lapas di Jakarta diisi oleh 16.624 narapidana. Jumlah ini menunjukkan kelebihan daya tampung Lapas sebesar 300 persen (KOMPAS.com, 17/8-2017).
Pembinaan terhadap warga binaan pun tidak efisien karena seorang sipir mengawasi 62 napi, sedangkan idealnya seorang sipir mengawasi 20 napi (Tempo.co, 3/8-2017). Selain komposisi sipir dan napi yang tidak efektif, pembinaan napi pun terkendala masa hukuman. Kasus-kasus napi yang divonis berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) yaitu enam bulan ke bawah sangat sulit dibina karena tahapan-tahapan yang harus dilalui, seperti urusan administasi, pemeriksaan kesehatan, pengenalan sudah memerlukan waktu.
Persoalan lain adalah warga binaan di Lapas ternyata banyak napi kasus narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dan obat-obatan psikotropika. Jumlah napi kasus narkoba sebanyak 86.000 yang terdiri atas pengedar 54.000 dan pengguna 32.000 (tempo.co, 3/8-2017).
Di banyak negara Lapas khusus narkoba sudah ditutup karena hukuman kurungan bagi penyalahguna narkoba tidak efektif dalam pembinaan karena yang dibutuhkan penyalahgiuna narkoba adalah rehabilitasi fisik dan psikis. Celakanya, di pemerintah Indonesia justru mulai membangun Lapas khusus narkoba.
Biaya hidup 32.000 penyalahguna narkoba di lapas akan jauh lebih bermanfaat jika dana itu dipakai untuk program rehabilitasi narkoba (Menghitung-hitung Untung Rugi LP Narkoba). Berdasarkan vonis hakim sesuai dengan UU Narkotika seorang terdakwa kasus narkoba akan diputuskan apakah dikirim ke Lapas atau ke pusat rehabilitasi.